Suara Miring Tokoh Oposisi dalam Diskusi BPN Prabowo-Sandi
Pasca debat perdana, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menggelar diskusi publik. Dalam acara tersebut, banyak puja-puji tanpa substansi apapun, yang mirisnya bila diperiksa secara mendalam banyak argumen yang kontradiktif.
Diskusi BPN Prabowo-Sandi ini diisi oleh para punggawa oposisi, diantaranya, Priyo Santoso (Berkarya) Rahayu Saraswati (Gerindra), Ferdinand Hutahean (Demokrat), dan Faldo Maldini (PAN). Melihat sosok mereka, kita pun bisa menerka apa yang dibicarakannya.
Misalnya, Sekjen Partai Berkarya Priyo Santoso menyatakan bahwa Prabowo-Sandi menang dalam debat pertama itu. Alasannya karena Prabowo dapat menjawab dengan tenang.
Pernyataan itu sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataannya. Gaya bicara Prabowo yang berapi-api tidak cocok untuk panggung debat yang seharusnya berupa pemaparan dan bukan orasi.
Prabowo juga kurang bersikap ofensif menghadapi lawannya. Sebagai oposisi harusnya bisa lebih agresif dan membuka kekurangan petahana selama empat tahun.
Kemudian, Ketua DPP Partai Gerindra Rahayu Saraswati mmenyatakan bahwa Paslon 02 harus bisa memenangkan suara dari 25% anak muda.
Padahal berdasarkan hasil survei dari CSIS menunjukkan kelompok milenial di Indonesia optimis terhadap masa depan. sebanyak 82,5 persen, optimis terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan pembangunan.
Dan ada sebanyak 75,3 persen juga optimistis terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Artinya, generasi muda justru lebih cenderung memilih Jokowi.
Berikutnya, suara miring juga datang dari Ferdinand Hutahean. Ia menganggap bahwa Paslon 01 hanya mengeluarkan retorika dan banyak terdapat kekurangan.
Hal tersebut merupakan klaim sepihak dari seorang pendukung kepada junjungannya. Padahal berbagai hasil analisa dari pakar politik menyatakan bahwa Jokowi lebih unggul karena lebih menguasai permasalahan daripada Prabowo yang cenderung bermain aman.
Sementara Politisi PAN Faldo Maldini menyatakan dukungan penuhnya kepada Prabowo. Padahal jika dirunut ke belakang dia sedang bersikap ahistoris dengan prinsip awal kemuculan PAN sebagai partai yang berlawanan dengan kubu orde baru termasuk salah satunya dengan Prabowo.
Inkonsistensi partai berlambang matahari ini yang seharusnya menjadi koreksi internal, bukan malah menganggung-agungkan mantan musuh politiknya hanya demi menjaga eksistensi semata.
Isi diskusi di atas bisa dipastikan tak berimbang, apalagi bisa menilai secara obyektif. Apa yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh oposisi itu ibarat ngerumpi emak-emak di warung kelontong.
No comments:
Post a Comment