Tuesday, 23 October 2018

Kelicikan Organisasi dan Permainan Semiotika HTI, Pelurusan mengenai Kasus Pembakaran Bendera HTI di Garut Jabar

Kelicikan Organisasi dan Permainan Semiotika HTI, Pelurusan mengenai Kasus Pembakaran Bendera HTI di Garut Jabar



Publik belakangan ini digemparkan dengan adanya video pembakaran bendera bertuliskan tauhid. Mereka yang beragama Islam pun langsung panas, mengira ada kelompok yang mencoba mendiskreditkan akidahnya. 

Namun perlu diluruskan sejak awal, pembakaran bendera berwarna hitam dan putih bertuliskan kalimat tauhid oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) itu, sama sekali tak pernah diniatkan untuk membakar kalimat tauhidnya. Namun, membakar simbol Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)-nya. 

Masalahnya, HTI ini secara organisasi sungguh licik dan curang karena memilih bendera Rasulullah Muhammad SAW logo dan simbolnya. Namun, bendera itu digunakan untuk kepentingan politik kekuasaannya. Asal tahu saja, secara harafiah arti kata Hizbut Tahrir artinya adalah partai pembebasan.

Pemilihan logo bendera Nabi yang kemudian ditampilkan sebagai bendera organisasi adalah bentuk permainan simbolisasi visual yang berkembang jauh. Secara historis, mereka meyakini diri sebagai kelompok yang memperjuangkan Islam paling kaffah, sehingga merasa wajib memajang simbol yang merepresentasikan Islam. 

Akibatnya, simbol bendera hitam dan putih tersebut menjadi citra visual terkuat atas HTI di tengah-tengah publik. Secara de facto, HTI tidak pernah menampilkan bendera aslinya, namun mengeksploitasi simbol liwa dan rayyah untuk kepentingan politiknya. 

Buktinya, bukan simbol resmi Hizbut Tahrir sendiri yang tampil di publik. Sangat jarang sekali para aktivis HTI memanggul logo resmi Hizbut Tahrir dalam aksi mereka. Sehingga secara riil, mereka berhasil menanamkan benak masyarakat bahwa simbol HTI yang paling dikenal publik adalah bendera hitam dan putih bertuliskan Lailahaillallah Muhammadarrasulullah. 

Padahal, dalam logo internasional Hizbut Tahrir, bendera liwa dan rayyah tersebut tergambar utuh sebagai bendera, lengkap dengan tiangnya, ditambahi bola dunia, dan tulisan Hizbut Tahrir dalam huruf Arab dan alfabet.

Dengan demikian, HTI telah memainkan kerja semiotika dengan memainkan simbol yang terbentuk secara alami, bukan dengan logika legal-formal. Secara legal memang simbol HTI adalah bendera ditambah bola dunia ditambah tulisan Hizbut Tahrir. Namun, secara de facto dalam benak dan persepsi publik luas, simbol HTI adalah bendera hitam dan putih dengan kalimat tauhid. 

Alhasil, ketika orang-orang bersikap resisten kepada HTI, otomatis mereka akan dituduh resisten juga kepada simbol-simbolnya. Namun, ketika resistensi itu ditujukan secara spontan kepada simbol-publik HTI yakni bendera hitam-putih bertuliskan kalimat tauhid, orang-orang HTI akan menampar balik dengan memainkan retorika klise secara instan membawa-bawa Islam bahwa kita anti atau memusuhi Islam. 

Padahal kalau kita pahami mendalam resisten terhadap bendera HTI tidak sama dan bukan bagian dari resistensi terhadap simbol agama Islam. Dalam konteks di Garut, membakar bendera HTI tidak sama dengan membakar kalimat tauhid. Itu adalah dua hal yang berbeda.

Hal ini juga dibenarkan oleh Wakil Katib PWNU Jateng, KH Nasrulloh Afandi. Bendera HTI, bisa di-qiyas-kan dengan rudal, nuklir, atau senjata pemusnah lainnya, yang sengaja bertujuan menjatuhkan suatu negara yang dalam keadaan aman dan tentram dengan bungkus kalimat tauhid. 

Dengan begitu, apa yang dilakukan oleh Banser NU Garut pada dasarnya bukanlah membakar kalimat tauhid-nya, tetapi memusnahkan alat penjahat negara, yaitu membakar bungkus politisasi agama yang dilakukan oleh organisasi terlarang dan sudah jelas dilarang oleh pemerintah.

Kita benar-benar diuji dalam kasus ini, baik dari segi nalar, logika, dan perasaan, oleh kasus pembakaran bendera HTI ini. Karenanya, kita perlu berpikir jernih agar tidak ssalah tafsir dan mengambil tindakan. 

Di sisi lain, kita juga tak boleh mudah terprovokasi atas kasus terssebut. Mari kita serahkan kepada aparat keamanan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Kita harus jaga perdamaian, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di tengah ancaman gelombang pasang konservatisme agama.

No comments:

Post a Comment