Monday, 15 October 2018

Dari Kasus Ratna Sarumpaet ke Pertemuan IMF-WB di Bali, Bahaya Pemelintiran Informasi Dewasa Ini


Digelarnya pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali membuat sejumlah pihak oposisi gerah. Mereka takut bahwa pertemuan ini akan sukses sehingga pamor Presiden Jokowi semakin tak terkejar. 

Oleh karena itu, sejumlah cara digulirkan untuk mendelegitimasi kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan pertemuan bergengsi tersebut. Dari mulai meragukan hingga memakai informasi hoax dan fitnah untuk menjatuhkan nama Presiden Jokowi. 

Sebelum pertemuan itu digelar, sejumlah tokoh oposisi menyebut pertemuan ini bersifat menghambur-hamburkan dana di tengah rasa duka karena saudara kita terkena bencana gempa di Lombok, Palu dan Donggala. Hal itu kemudian diikuti dengan fitnah bahwa ajang pertemuan IMF-World Bank disebut sebagai upaya menambah utang luar negeri. 

Terakhir, ada juga yang menyebut bahwa pertemuan IMF-WB ini untuk melayani gaya penjajah baru, yang akan menjadikan Indonesia sebagai ladang penjajahan oleh IMF,  World Bank, serta para kapitalis asing. Adalah Haris Rusli Moti, tokoh aktivis 1998 termasuk yang mengumbar isu seperti ini di publik Indonesia. 

Dalam narasi yang disebarkan di media sosial, Moti berusaha mengaitkan kasus hoax Ratna Sarumpaet dengan kolonialisme institusi keuangan global. Namun sejauh yang dibaca itu sama sekali tak menunjukkan posisinya yang jelas terkait relasi keduanya. 

Kebohongan Ratna Sarumpaet tidak ada kaitannya dengan pertemuan IMF-WB juga dengan jalannya pemerintahan Presiden Jokowi. Sebaliknya, kasus itu membuat rakyat semakin cerdas melihat kedunguan Prabowo-Sandiaga dan para politikus koalisi kardus. 

Mereka suka membuat hoaks tetapi juga percaya hoaks. Indonesia gaduh karena ada oknum yang ingin berkuasa meskipun gagal berulang kali. Tulisan Haris Rulsy Moti bisa dibaca sebagai upaya pengalihan isu atas ketololan Prabowo-Sandi tersebut.

Terkait pertemuan IMF-WB di Bali kita harus memahaminya dalam runutan sejarah. Inisiatif Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia itu berasal dari SBY pada bulan September 2014. 

Secara teknis, BI mengajukan Indonesia sebagai tuan rumah karena BI merupakan representasi Indonesia di IMF, tetapi BI mengajukan setelah ada kesepakatan dengan Pemerintah. Hal ini telah dibenarkan oleh Menteri Keuangan RI saat itu, yakni Chatib Basri.  

Sementara, terakit alokasi anggaran penyelenggaraan, dan agenda yang diperjuangkan oleh Indonesia sebagai tuan rumah, hal itu bergantung pada pemerintahan saat ini. Pendanaan pertemuan itu dilakukan secara multi-years sehingga tak ada kaitannya dengan pendanaan penanganan pasca bencana di Lombok dan Palu. 

Pendanaan untuk persiapan pertemuan tersebut sepenuhnya berasal dari APBN. Itu pun untuk membangun infrastruktur penunjang. Bukan sebagai biaya jasa pertemuan, yang sepenuhnya didanai oleh IMF dan Bank Dunia. 

Sehingga bila ada tuduhan bahwa Presiden Jokowi mendapat pembiayaan dari sejumlah cukong, taipan dan saudagar untuk pertemuan itu, jelas merupakan sebuah informasi hoax dan fitnah. Tak ada bukti yang mengarah kesana.  

Haris Rusli Moti yang menuduh itu pun juga tak bisa menyebutkan secara pasti dan sepesifik. Dia hanya  mampu meminjam kata “dugaan”, sehingga pernyataannya itu tak benar dan tidak berdasarkan fakta dan data. Namun cenderung bermuatan fitnah dan hoaks. 

Beberapa kesalahan dan pembiasan informasi terkait kasus Ratna Sarumpaet dan pertemuan IMF-WB di atas harusnya memberikan kita pelajaran agar berhati-hati dalam menggunakan media sosial. 

Kita harus kritis dalam memahami dinamika politik dan ekonomi akhir-akhir ini, apalagi menjelang Pemilu 2019. Jangan sampai mudah termakan hoax hanya bermodalkan isu yang tak jelas di media sosial. 

Kemampuan mencerna informasi dengan telaten dan memeriksanya ulang adalah salah satu cara agar diri kita terhindar dari fitnah dan kebohongan di masa digitalisasi informasi ini.

1 comment: