Sejak dipilih menjadi cawapres-nya Prabowo, Sandiaga Uno kini kerap berbicara masalah ekonomi rakyat. Sepertinya dia menggunakan bahasa ekonomi itu sebagai bahan kampanyenya.
Hal itu terlihat dari pernyataan-pernyataannya terkait isu ekonomi sehari-hari, seperti tempe setipis ATM, atau ayam goreng yang makin mahal. Menurutnya “sepiring nasi ayam di Jakarta yang lebih mahal daripada di Singapura.
Tentu saja, pernyataannya itu menjadi kontroversial di masyarakat. Karena rakyat yang sehari-hari bergelut dengan makanan itu merasa kondisi tak se-ekstrim seperti itu.
Sebagai calon pemimpin, Sandiaga Uno berusaha membangun narasi bahwa saat ini perekonomian rakyat sedang sulit. Ia terlihat hanya memiliki fokus untuk mewartakan keresahan masyarakat. Karena itu, isi kampanyenya hanya berisi keluhan, bukan sebuah harapan untuk berubah menjadi baik.
Secara luas, hal tersebut adalah bentuk pesimisme yang tidak memiliki nilai tawar tinggi sebagai calon wakil Presiden di hadapan masyarakat. Sandiaga seharusnya justru menebar optimisme masyarakat dalam membangun bangsa.
Oleh karenanya, banyak pengamat yang menilai gagasan yang hendak disampaikan Sandiaga ke publik itu belum terlalu jelas. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kuskridho ‘Dodi’ Ambardi, pengamat politik dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia.
Dalam kampanyenya hingga kini gambaran Indonesia mau dibawa ke mana itu tidak jernih, malah yang muncul kemudian hal-hal kontroversial. Soal tempe setipis ATM, nasi ayam mahal, dan seterusnya itu tidak ditautkan dengan gagasan besar tentang ide kebijakan.
Ucapan-ucapannya yang kontroversial dari Sandiaga itu memang membuatnya kian populer dan semakin banyak dibicarakan orang. Namun tingkat popularitas itu belum tentu berbuah dukungan politik luas dari masyarakat.
Pasalnya, tingkat elektabilitas hanya bisa diperoleh dari adanya pesan yang kredibel kepada pemilih. Dengan isu yang tak sesuai di lapangan seperti di atas, membuat rakyat merasa dibohongi. Itu tak akan membuat rakyat memilihnya.
No comments:
Post a Comment