Wednesday, 31 October 2018

Biarkan HTI Tumbuh, Prabowo Dipertanyakan Komitmen Kebangsaannya

Biarkan HTI Tumbuh, Prabowo Dipertanyakan Komitmen Kebangsaannya



Selama ini, Calon Presiden Prabowo Subianto selalu mengelak ketika dituduh sebagai pendukung paham khilafah. Hal itu ditegaskan kembali ketika dirinya menghadiri deklarasi dukungan dari Relawan Rhoma Irama di Markas Soneta, Jalan Tole Iskandar, Depok, Jawa Barat, Minggu (28/10/2018).

Pada kesempatan itu, Prabowo mengaku bahwa mendukung NKRI dari kecil hingga mati. Sikap politiknya itu dibarengi dengan perjuangannya untuk terus menegakkan Pancasila. 

Namun, komitmennya itu ternyata tak teruji di lapangan kenyataan. Buktinya, ketika Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan oleh Jokowi pada bulan Juli 2017, tidak terdengar sedikit pun suara dukungan dari Prabowo maupun partainya terhadap pembubaran kelompok pro khilafah itu. 

Bahkan pada Mei 2018, Gerindra, PAN dan PKS mendukung HTI mengajukan banding atas pembubaran itu. Ini tentu bertentangan dengan pernyataan Prabowo di atas.

Prabowo juga mengetahui bahwa gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi oleh HTI. Bukti itu jelas dan nyata dari video yang viral yang menampilkan Mardani Ali Sera dari PKS dan Ismail Yusanto Jubir HTI yang mengeluarkan statemen, "ganti sistem". 

Gerakan "Ganti Presiden" ini didukung penuh oleh Gerindra, dimana Fadli Zon, Waketum Gerindra, tampak aktif melindungi para penggerak gerakan ini.

Prabowo di satu sisi mengaku NKRI, tetapi di lain hal partai Gerindra tidak mendukung Pemerintah membubarkan HTI dan tidak melarang gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi oleh HTI. 

Hal tersebut mencerminkan bahwa Prabowo menerapkan politik yang menguntungkan dirinya dengan cara berpura-pura NKRI dan berpura-pura mendukung Ormas radikal yang bisa dimainkan sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.

Di sisi lain Prabowo juga memanfaatkan massa HTI dan kelompok radikal lainnya hanya sebagai komoditas politik untuk meraih suara. Ini membuktikan Prabowo tidak komitmen dengan “Kontrak Politik” dengan kelompok mereka. 

Perjuangan HTI untuk menyampaikan aspirasinya tidak akan terwujud sehingga sia-sia HTI mendukung Prabowo di Pilpres 2019.

Kelicikan Prabowo ini menunjukkan bahwa dirinya adalah politisi yang licin dan seperti ular. Dia bisa 'tikung' dua massa yang berseberangan hanya untuk kepentingan pribadinya.

Relawan Milenial Deklarasi Pilpres Damai

Relawan Milenial Deklarasi Pilpres Damai



Untuk menyongsong Pemilu yang damai, sejumlah pemuda yang tergabung dalam Relawan Jokowi Suara Hati Rakyat (Juara), Forum Umat Islam Bersatu (FUIB), dan Jaringan Aliansi Nasional (Jarnas) yang akan menggelar "Deklarasi Nasional 2019 Pilpres Damai" di Gedung Joeang, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (1/11).

Deklarasi itu merupakan salah satu cara memperingati Hari Sumpah Pemuda yang menjadi momentum bagi pemuda atau generasi milenial untuk berada dalam satu poros politik di Pilpres 2019 mendatang.

Sekretaris Jenderal Relawan Juara Troy Pomalingo menjelaskan bahwa acara ini akan dihadiri para mahasiswa, aktivis pergerakan, dan para calon yang bertarung di Pilpres 2019. Mereka telah mengundang Presiden Jokowi-KH Ma'ruf Amin serta Prabowo-Sandiaga Uno karena kami para pemuda Indonesia mau melihat komitmen kedua pasangan ini dalam menjaga NKRI,

Tujuan Deklarasi ini ialah mengajak kubu Jokowi dan Prabowo untuk tetap bergandengan tangan dalam bingkai kebangsaan, walaupun sedang berkontestasi dalam pemilu 2019.

Sementara itu, Ketua FUIB Rahmat Himran menjelaskan bahwa pihaknya telah mengundang sejumlah organisasi kepemudaan yang berseberangan dengan Jokowi untuk datang. Menurutnya, semua harus duduk bersama di saat suasana menjelang Pilpres sudah semakin parah.

Para pemuda itu berharap semua kandidat tidak menyebarkan hoax, ujaran kebencian, fitnah maupun menggunakan simbol agama dalam proses Pilpres sebab ini berpotensi memecah belah bangsa ini.

Ini adalah langkah konkret pemuda yang patut diapresiasi.  Pemuda harus berkontribusi dalam proses Pemilu yang damai dan menjaga persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia.

KH. Ma'ruf Amin Berkeliling di Banyuwangi Jatim

KH. Ma'ruf Amin Berkeliling di Banyuwangi Jatim



KH. Ma'ruf Amin tetap bersemangat untuk menjalin silaturahmi dengan sejumlah Kiai dan Santri di berbagai Pondok Pesantren di Indonesia. Di penghujung hari Oktober ini, Kiai asal Tangerang itu bersilaturahmi ke Banyuwangi, Jawa Timur.

Di Banyuwangi, Kiai Ma'ruf akan mengawali agenda bertemu para kiai dan anggota Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Banyuwangi.

Selanjutnya, Mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu akan berziarah ke makam Kiai Saleh Lateng yang berletak di Kecamatan Lateng, atau tak jauh dari Masjid Agung Baiturrohman Banyuwangi.

Sebelumnya, sejak 30 Oktober 2018 Ma’ruf Amin berkegiatan di Banyuwangi dengan mengunjungi Pesantren Darusallam, Blokagung untuk berilaturahmi dengan pimpinan dan para santri.

Bersilaturahmi dengan para kiai dan santri adalah habitus (kebiasaan) KH. Ma'ruf sejak dulu, bahkan jauh sebelum dirinya dipilih sebagai cawapres dari Joko Widodo. 

KH. Ma'ruf Amin mengakui bahwa pesantren adalah dunianya. Karenanya dia tak pernah lepas dari komunitasnya tersebut.

Hoax dan Pesimisme Prabowo akan Masa Depan Indonesia

Hoax dan Pesimisme Prabowo akan Masa Depan Indonesia



Sebagai seorang calon presiden, Prabowo Subiyanto ternyata tak yakin jika Indonesia bisa menjadi negara maju dan kuat di kemudian hari. Persis seperti sebelum-sebelumnya, Prabowo justru lebih pesimis dengan kondisi bangsa ini.

Hal itu disampaikan Prabowo ketika bersilaturahmi  Pondok Pesantren Assodiqiah, Sawah Besar, Kota Semarang beberapa waktu lalu.

Menurutnya, sistem yang terjadi di Indonesia ini keliru dan salah. Karenanya, tidak mungkin Indonesia bisa kuat dan sejahtera. Inti kesalahan sistem ini membuat kekayaan kita mengalir keluar.

Ada kesalahan mendasar bagi Prabowo soal pemahaman mengenai sistem ini. Selain juga dirinya tak melihat fakta terbaru yang terjadi di lapangan.

Pengakuannya itu juga berbahaya karena mengarahkan anak bangsa terbiasa menerima pesan politik penuh ketakutan dan kekhawatiran, dibandingkan narasi optimisme dan bangkit. Lebih jauh lagi, pernyataan Prabowo itu juga bisa dipelintir oleh kelompok pendukung ideologi non-Pancasila.

Menanggapi itu gampang saja. Apabila Prabowo Subianto tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945, juga tak yakin bahwa Indonesia bisa maju dan sejahtera di masa depan sebaiknya dia menjadi Capres di negara lain saja.

Sistem negara Indonesia ini dikelola oleh Pemerintahan Jokowi-JK ini berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semua kebijakannya didasarkan pada semangat konstitusi.

Buktinya, pengelolaan SDA diupayakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan menguasai saham Freeport 51 persen dan mengambil alih pengelolaan Blok-Blok Migas dari asing, pembangunan sarana dan prasaranan untuk masyarakat seperti infrastruktur jalan, listrik dan air bersih, keadilan energi dengan menetapkan BBM Satu Harga, pemberian sertifikat tanah gratis untuk memberikan kepastian hak atas tanah bagi masyarakat serta kestabilan harga bahan pokok untuk menjaga daya beli masyarakat.

Terkait pernyataannya bahwa ada kekayaan Indonesia yang keluar itu juga tak terbukti. Faktanya, justru berbanding terbalik dengan hasil kinerja Pemerintah yang mampu mendatangkan investasi dan melaksanakan program yang pro-rakyat.

Prabowo masih saja jualan hoax di Pesantren. Tak berubah seperti dulu, narasi yang dijualnya selalu berisi tentang ketakutan, kekhawatiran, dan pesimisme mengenai kehidupan berbangsa ke depan.

Sejauh ini, hanya Prabowo saja si Jenderal Kardus yang pesimis dengan perkembangan Indonesia, sementara tokoh bangsa bahkan dunia internasional memperkirakan Indonesia semakin kuat ke depannya.
Protes Pemerintah Indonesia Kepada Arab Saudi atas Eksekusi TKI tanpa Notifikasi



Eksekusi mati terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) Tuti Tursilawati telah dilakukan oleh kerajaan Arab Saudi. Parahnya, eksekusi mati itu tanpa ada notifikasi kepada pemerintah Indonesia.

Hal itu tentu membuat pemerintah mengecam atas perlakuan semena-mena Arab Saudi kepada warga negara Indonesia. Pemerintah Indonesia akan melayangkan protes kepada Arab Saudi.

Atas permasalahan ini, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid menyerahkan tindak lanjutnya kepada Kementerian Luar Negeri. Hal tersebut juga menjadi sorotan pihak Komisi IX DPR, yakni perihal perlindungan terhadap TKI di luar negeri.

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu Lalu M Iqbal bahwa hal tersebut sangat disayangkan oleh pemerintah Indonesia karena eksekusi tersebut dilakukan Kerajaan Arab Saudi tanpa notifikasi kepada perwakilan, baik KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah.

Upaya membebaskan Tuti Tursilawati telah dilakukan sejak vonis mati itu dijatuhkan. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan eksekusi mati terhadap TKI ini.

Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyurati Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud terkait kasus Tuti Tursilawati ini. Meski kasus Tuti Tursilawati telah inkrah atau ditetapkan pengadilan pada tahun 2011 namun pemerintah terus melakukan upaya untuk meringankan hukuman, upaya pendampingan kekonsuleran tetap dilakukan sejak tahun 2011 sampai tahun 2018.

Pemerintah Indonesia telah mengajukan 3 kali permohonan banding. Namun upaya hukum tersebut tak menemui hasil.

Apa yang dilakukan pemerintah Arab Saudi itu juga telah menciderai etika diplomasi antara kedua negara. Hukuman mati jelas melanggar hak untuk hidup yang dijamin Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Oleh karenanya, hingga sekarang pihaknya menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dalam kasus apa pun dan dengan metode apa pun.

Kita harus protes atas eksekusi mati pada TKI asal Indonesia ini. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk terus melindungi warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tuesday, 30 October 2018

Ragam Kebijakan Presiden Jokowi Tingkatkan Kualitas Kehidupan Manusia melalui Pendidikan

Ragam Kebijakan Presiden Jokowi Tingkatkan Kualitas Kehidupan Manusia melalui Pendidikan



Pendidikan merupakan aspek penting dalam membangun kualitas kehidupan manusia. Sektor ini menjadi salah satu perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mendorong peningkatan kualitas manusia.

Perhatian besar pemerintahan Presiden Jokowi pada bidang pendidikan terlihat dari adanya komitmen anggaran. Pada tahun 2019 mendatang, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 487,9 triliun atau 20 % dari total belanja negara.

Angka tersebut naik 38,1% dibandingkan realisasi anggaran pendidikan di tahun 2014, atau sekitar Rp 353,4 triliun.

Dalam hal ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Muhadjir Effendy, yang meminta Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah (provinsi/kabuaten/kota) agar memaksimalkan anggaran pendidikan dan menerapkan kebijakan alokasi 20% APBD untuk kepentingan pendidikan nasional. Mengingat 65% dari dana pendidikan APBN itu digunakan untuk transfer daerah.

Pemerintah juga memberikan beasiswa kepada 20,1 juta siswa melalui Program Indonesia Pintar dan 471,8 ribu mahasiswa melalui beasiswa bidik misi pada tahun 2019.

Kemudian, anggaran pendidikan pada 2019 diarahkan untuk memperkuat program BOS bagi 57 juta siswa, percepatan pembangunan dan rehab sekolah, pembangunan sarana kelas dan laboratorium di 1.000 pesantren serta meningkatkan kualitas guru PNS dan non-PNS melalui tunjangan profesi.

Pemerintah juga memastikan adanya kenaikan tunjangan guru PNS dan non-PNS. Bahkan, Presiden Jokowi siap untuk berada di garis terdepan dalam membela hak guru tersebut.

Saturday, 27 October 2018

Stabilitas Pangan Terjaga dengan Baik, Komite Pedagang Pasar Dukung Jokowi-Ma'ruf Amin

Stabilitas Pangan Terjaga dengan Baik, Komite Pedagang Pasar Dukung Jokowi-Ma'ruf Amin



Dukungan kepada pasangan capres-cawapres Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin mengalir dari berbagai pihak. Termasuk dari kelompok pedagang pasar.

Saat ini, terdapat 15 juta pedagang pasar di 200 ribu pasar seluruh Indonesia akan memilih kepemimpinan Jokowi - Ma'ruf Amin. Deklarasi dukungan ini murni gerakan sosial yang diinisiasi oleh para pedagang, tanpa adanya tekanan maupun intervensi dari pihak manapun.

Ketua Umum Komite Pedagang Pasar (KPP), Abdul osyid Arsyad, mengatakan mereka tetap mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019 karena resah dengan gaya kampanye Sandiaga Uno.

KPP akan meyakinkan seluruh pedagang di Indonesia untuk memilih pasangan nomor urut satu, Jokowi-Ma’ruf Amin, Pada Bulan November mendatang, KPP akan melaksanakan deklarasi besar-besaran untuk memberikan dukungan suara kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Dukungan KPP itu bukan tanpa alasan. Mereka memilih Jokowi-KH. Ma'ruf Amin karena kebijakan Presiden Jokowi selalu berpihak kepada rakyat dan dirasakan bermanfaat oleh para pedagang pasar. Terutama, soal kebijakan Presiden Jokowi dalam menciptakan stabilitas harga pangan sehingga membuat pedagang merasa tenang.

Dukungan itu adalah cerminan bukti kerja pemerintahan Presiden Jokowi. Karena tak mungkin para pedagang itu mendukung, bila kepentingan pedagang pasar tak pernah terakomodir dalam kebijakan politik pemerintah.

Semoga pada 2019 nanti, Presiden Jokowi bisa memenangkan Pemilihan Presiden, agar kebijakan yang pro-rakyat sebagaimana yang dirasakan oleh anggota KPP itu bisa terus berlanjut.

Pemerintah Dorong Realisasi Mobil Nasional Esemka dengan Berbagai Fasilitas

Pemerintah Dorong Realisasi Mobil Nasional Esemka dengan Berbagai Fasilitas



Belakangan ini, realisasi mobil Esemka selalu dipertanyakan oleh kubu oposisi. Mereka menyebut janji Presiden Jokowi untuk mewujudkan adanya mobil nasional dinilai kebohongan belaka. 

Melihat pertanyaan itu, sebenarnya kita cukup mengernyitkan dahi. Pasalnya, Presiden Jokowi sendiri hingga saat ini memang tak pernah berjanji untuk mewujudkan mobil nasional itu akan dikerjakan pemerintah.

Dari awal Presiden selalu mendukung dan mendorong upaya realisasi pembuatan mobil nasional itu, namun tak berjanji pemerintah akan mendirikan pabrik mobil. Hal ini jelas berbeda. 

Sebab, produksi mobil Esemka itu adalah kewenangan industri dan perusahaan otomotif. Sedangkan, tugas pemerintah adalah memfasilitasi kebutuhan izin dan melakukan uji emisi serta uji kelayakan agar dapat diproduksi secara massal.

Hingga kini, usaha pemerintah untuk mendorong mobil Esemka itu agar terealisasi terus dilakukan. Pemerintah ingin agar mobil Esemka sebagai karya anak bangsa ini bisa bersaing di pasar industri otomotif. 

Oleh karenanya, pemerintah akan terus mengkaji kebijakan dan sektor perpajakan sebagai insentif terhadap pengembangan mobil Esemka. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pembukaan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS). 

Apa yang dikatakan Presiden Jokowi itu selaras dengan pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bahwa dalam waktu dekat Badan Pengkajian dan Penerapat Teknologi (BPPT) akan melakukan uji tipe mobil Esemka.  Hal ini sebagai salah satu langkah yang harus dipenuhi agar mobil Esemka layak dan bisa diproduksi massal.

Perlu diketahui, saat ini PT. Adiperkasa Cirra Esemka Hero (ACEH) sebagai produsen mobil Esemka telah membangun pabrik di Boyolali Jawa Tengah dan Cileungsi Bogor Jawa Barat. Hal itu bisa menjadi bukti bahwa pemerintah benar-benar  serius mewujudkan Esemka sebagai mobil nasional.

Jadi bila kita mempertanyakan bagaimana progres pemerintah membangun pabrik mobil jelas salah. Karena kewenangan pemerintah bukan di sudut itu. 

Meski demikian, pemerintah benar-benar mendorong adanya mobil nasional dengan memberikan fasilitas, insentif pajak, dan uji kelayakan bagi industri mobil yang akan tumbuh.
Gerak Cepat, Penanganan Pasca Bencana Pemerintahan Presiden Jokowi Dapat Apresiasi dari Banyak Pihak



Dalam waktu yang tak lama berselang, Indonesia diguncang oleh dua bencana besar, yakni gempa bumi di Lombok Nusa Tenggara Barat dan Palu di Sulawesi tengah. Gesekan antar sesar yang aktif di bumi Indonesia ini menghasilkan daya rusak yang besar. 

Meski bencana ini tak bisa diprediksi, tetapi setidaknya kita bisa berbuat banyak saat penanganannya. Untungnya, pemerintahan Presiden Jokowi cukup responsif dalam menangani dua bencana ini. 

Dalam kecepatan proses evakuasi serta penanganan pengungsi, pemerintah Indonesia sepertinya patut untuk diapresiasi. Sampai saat ini, pemerintah sudah melakukan beberapa langkah yang tepat.

Diantaranya, pertama adalah memastikan semua bantuan sampai ke tempat yang membutuhkan, kedua yaitu pengiriman 100 telepon Satelit untuk keperluan telekomunikasi, ketiga, adalah pembentukan 'Quick Response Team', kemudian penerjunan Tim Crisis Center, memasok BBM menggunakan pesawat dan tinjauan dari Presiden secara langsung untuk penentuan langkah tanggap darurat, 

Dengan penanganan cepat itu tersebut, pemerintahan Presiden Jokowi mendapatkan apresiasi dari Sekjen PBB Antonio Guterres. Dia memuji kecepatan aksi pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mengatasi bencana gempa dan tsunami di Lombok serta Sulawesi Tengah.

Menurutnya, masyarakat Indonesia memiliki resiliensi tinggi dan mengapresiasi respons cepat pemerintah sehingga situasi dapat diatasi dalam waktu yang singkat. 

Penanganan bencana di era Jokowi ini lebih cepat dan sigap dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya. Hal itu bisa dilihat dari respon pemerintah, mobilisasi sumber daya, distribusi bantuan, hingga program rehabilitasi.

Secara kronologi waktu, pemerintah Jokowi lebih komplek permasalahannya karena kejadian bencana berada di ujung masa pemerintahan sekaligus masa kampanye, sedangkan di era SBY bencana Tsunami Aceh berada di awal masa kepemimpinannya. 

Kita patut mengapresiasi langkah pemerintahan Presiden Jokowi dalam hal ini. Meski kita tak berharap bencana akan kembali lagi, namun langkah mitigasi seyogianya dipersiapkan dengan baik.

Samakan Sandiaga dengan Hatta, Cucu Bung Hatta Protes Keras

Samakan Sandiaga dengan Hatta, Cucu Bung Hatta Protes Keras



Tim sukses Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyamakan kandidat jagoannya itu dengan dwitunggal Proklamator Indonesia, Soekarno-Hatta. Pernyataan itu pun menuai reaksi keras dari cucu Bung Hatta, Gustika Jusuf-Hatta.

Pernyataan itu disampaikan oleh Koordinator Jubir Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, lewat video bersama deretan jubir lainnya. Ada Irene (Gerindra), Faldo Maldini (PAN), Pipin Sopian (PKS), serta Gamal Albinsaid. Video itu sendiri diunggah di akun Twitter Faldo Maldini. 

Dalam keterangaannya itu, Dahnil menyamakan Prabowo seperti Soekarno. Sedangkan, Sandiaga disamakan dengan Bung Hatta. 

Ucapan Dahnil itu direspons Gustika Jusuf-Hatta, cucu Mohammad Hatta. Lewat Twitter, Gustika keberatan ketika Sandiaga disamakan dengan Bung Hatta.

Gustika protes keras kakeknya disamakan dengan tokoh seperti Sandiaga. Dia juga keberatan saat kakeknya dibawa-bawa dalam kepentingan politik. 

Penggunaan nama Bung Hatta hanya untuk kepentingan politik saja bukan untuk memperjuangkan nilai-nilai Bung Hatta. 

Tidak ada kesesuaian karakter Sandiaga Uno dengan Bung Hatta. Sebab, Bung Hatta adalah tokoh koperasi dan negarawan, sedangkan Sandiaga tokoh korporasi dan politisi yang namanya masuk dalam skandal Panama Papers dan terlibat kasus pencucian uang.

Sandiaga jelas tak layak disandingkan dengan Bung Hatta. Dari segi kualitas keduanya berbeda jauh. 

Begitulah bila politik tanpa gagasan. Hanya bisa menyamakan seseorang tanpa perbandingan yang 'apple to apple', Padahal antara keduanya seperti minyak dan air.

Pemerintahan Presiden Jokowi Berhasil Wujudkan Perlindungan Hukum bagi WNI di Luar Negeri


Pemerintahan Presiden Jokowi Berhasil Wujudkan Perlindungan Hukum bagi WNI di Luar Negeri



Selama 4 tahun ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo berusaha melindungi seluruh warga negara Indonesia. Salah satunya adalah memberikan perlindungan hukum bagi pekerja migran yang terjerat kasus hukum.

Menurut laporan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengatakan negara telah membebaskan 443 warga negara Indonesia (WNI) dari hukuman mati di luar negeri selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Selain itu, negara selesaikan 51.088 kasus WNI di luar negeri, 181.942 WNI di luar negeri telah di-repatriasi,

Pemerintah juga bekerja negara berhasil mengevakuasi 16.432 WNI dari wilayah konflik di luar negeri. Termasuk pembebasan 39 WNI yang jadi sandera di Filipina.

Tak hanya menyelamatkan fisik WNI di luar negeri, Retno mengklaim pemerintah berhasil mengembalikan hak WNI di luar negeri. Nilainya mencapai Rp 408 miliar, termasuk hak pendidikan bagi anak dari tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Capaian tersebut disampaikannya dalam konferensi pers empat tahun pemerintahan Jokowi-JK dengan tema “Peningkatan Stabilitas Politik dan Keamanan, Penegakan Hukum, dan Tata Kelola Pemerintahan” yang digelar Forum Merdeka Barat di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Melalui capaian tersebut, pemerintahan Presiden Jokowi dianggap berhasil dalam menjaga stabilitas politik dan penegakkan hukum.

Lebih dari itu, Presiden Jokowi juga dinilai berhasil mengimplementasikan tujuan bernegara sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Inilah prestasi kerja yang patut dibanggakan. Rekam jejak yang seperti ini yang membawa Indonesia lebih maju lagi.

Kisah yang Tak Suci, Partai Gerindra dan Sederet Kasus Hukum Kadernya



Sebagai oposisi, kelakuan kader-kader Partai Gerindra kadang tak tahu diri. Mereka selalu merasa suci dan benar, sedangkan pihak di seberangnya selalu dianggapnya salah. 

Dari persoalan penting hingga yang remeh temeh, selalu dikomentari oleh para kader Gerindra ini. Hal itu tampaknya demi mendapatkan dukungan untuk merealisasikan agendanya dalam menduduki tampuk kekuasaan. 

Padahal, sebagai sebuah partai politik, banyak kader Gerindra yang juga bermasalah secara hukum. Mereka umumnya tersangkut kasus korupsi, suap, penggelapan, hingga kasus kriminal seperti pembakaran sekolah. 

Wow, mari kita simak sederet kasus pelanggaran hukum para kader Partai Gerindra.  

Pertama, kader Gerindra bernama Agus Sugianto ini. Dia dilaporkan Calon Walikota Palembang pada 2017 karena terkait kasus penipuan dan penggelapan uang Rp 3 M. Agus Sugianto juga merupakan mantan ajudan Ketum Gerindra.

Kedua, Wakil Ketua DPRD Bali, Jero Gede Komang Swastika. Dia adalah kader Gerindra yang terjerat kasus narkoba. Rumahnya digeledah kepolisian karena menjadi tempat menyembunyikan narkoba.

Kemudian, ada juga Yansen Binti. Dia adalah kader Partai Gerindra sekaligus anggota DPRD Kalteng yang menjadi dalang dibalik pembakaran 7 sekolah di Palangka Raya, Prov. Kalteng. Alasannya, itu mendesak Gubernur Kalteng Sugianto Sabran agar memberikan proyek kepada Yansen Binti.

Berikutnya, terdapat sederet kasus korupsi yang melibatkan kader Gerindra. Misalnya,  4 kader Gerindra di DPRD Kota Malang terlibat korupsi berjamaah dalam kasus suap APBD-P 2015. 

Kemudian, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta sekaligus kader Gerindra, M. Taufik terlibat kasus korupsi logistik Pemilu saat menjabat Ketua KPUD DKI Jakarta. Berikutnya, rekannya yang bernama M. Sanusi yang pernah menjabat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta juga terkena OTT KPK dalam kasus suap reklamasi dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Tak hanya itu, M. Basuki yang pernah menjabat Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur juga menjadi tersangka suap setoran triwulan terkait pelaksanaan tugas pengawasan dan pemantauan DPRD tentang penggunan anggaran di Prov. Jatim.

Sederet kasus korupsi dan pelanggaran hukum lainnya tersebut menjadi bukti bahwa Partai Gerindra tak suci-suci amat. Mereka bukan partai yang suci, apalagi menyandang predikat sebagai Partai Allah, 

Beberapa kasus hukum yang dilakukan oleh kader Gerindra itu menunjukkan sisi buruknya kaderisasi dan evaluasi terhadap di tubuh partai besutan Prabowo Subiyanto ini. Itu adalah kelemahan mendasar dari Partai Gerindra. 

Pemahaman ini sangat penting agar kita bisa melek peta partai politik di Indonesia. Jangan sampai kita tertipu dengan pencitraan parpol-parpol pembohong itu.

Stop, Politik Kebohongan telah Melewati Batas Kesabaran Publik


Stop, Politik Kebohongan telah Melewati Batas Kesabaran Publik


Memasuki masa kampanye Pemilu 2019 ini, politik kebohongan yang dimainkan oleh kubu oposisi dirasakan sudah keterlaluan. Politik kebohongan ini telah melewati batas kesabaran.

Hal tersebut karena kebohongan yang dilakukan itu telah mengorbankan rakyat. Dengan adanya kebohongan itu, proses demokrasi tak membahas persoalan rakyat, namun justru terjebak pada isu yang tak benar demi sebuah kekuasaan.

Kasus hoax Ratna Sarumpaet menjadi salah satu cerminan politik kebohongan yang kini terjadi di dunia politik Indonesia. Bahayanya, political les dan lies politics itu justru melanda banyak kalangan elite politik yang mengimbas ke lingkungan pemilih akar rumput.

Belajar dari kasus RS, dimana hal tersebut sarat dan tumpang tindih dengan politik kebohongan tanpa bukti dan tanpa verifikasi kebenaran. Hal itu sangat berbahaya karena bisa membakar emosi masyarakat akar rumput.

Dalam konteks saat ini, penjajahan yang paling mengerikan ialah penjajahan kebohongan, karena disitu yang dijajah adalah alam pikiran.

Menerapkan Kebohongan termasuk dalam hal politik memiliki resiko yang berat. Karena tidak ada orang yang punya ingatan cukup baik untuk menjadi pembohong yang sukses.

Siksaan untuk para pembohong ialah harus mengingat semua kebohongannya. Kebohongan satu akan ditutup dengan kebohongan lain yang belum tentu berjalan sesuai ingatan dan peran yang dimainkan, maka seorang pembohong tak akan punya kepercayaan lagi di mata orang lain.

Di bidang politik sudah tentu pembohong sedang bunuh diri karena tak akan ada orang yang akan percaya dan memilihnya lagi. Itu yang sudah dilakukan oleh Ratna Sarumpaet, dan para artis pendukung drama kebohongan itu, seperti Prabowo, Sandiaga Uno, Amien Rais, Fadli Zon, Dahnil Anzar, Ferdinand Hutahean, Hanum Rais, dan para pembohong lainnya.

Wilayah Perbatasan menjadi Prioritas, Pemerintahan Presiden Jokowi Wujudkan Nawacita


Wilayah Perbatasan menjadi Prioritas, Pemerintahan Presiden Jokowi Wujudkan Nawacita



Selama ini, kita mengenal Indonesia itu terdiri dari Sabang dan Merauke berjajar pulau-pulau. Namun, mirisnya Sabang dan Merauke sebagai wilayah perbatasan kerap terlupakan.

Namun, selama 4 tahun ini, hal itu perlahan telah berubah. Pemerintahan Presiden Jokowi memprioritaskan untuk membangun wiilayah perbatasan.

Hal tersebut sesuai dengan visi Nawacita pemerintahan Presiden Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggiran dan desa-desa.

Buktinya, pemerintah selama 4 tahun ini telah selesai membangun tujuh pos lintas batas negara (PLBN) di 187 kecamatan. Pembangunan PLBN tersebut untuk mendukung aktivitas ekonomi.

Total panjang jalan perbatasan di Indonesia berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencapai 3.197,81 km. Jalan ini tersebar di tiga lokasi, yakni Kalimantan, Papua dan juga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dalam rentang tahun 2015-2018, sepanjang 1.067,53 km jalan perbatasan pun berhasil ditembus. Dibanding uang kasus korupsi senilai puluhan triliunan rupiah, jalan perbatasan yang panjangnya hingga 1.067 km berhasil dibangun hanya dengan anggaran Rp 5,08 triliun.

Adanya jalan perbatasan itu akan memberikan akses mobilitas bagi masyarakat. Dengan begitu akan membuka keterisolasian daerah di wilayah perbatasan sehingga akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Inilah hasil pembangunan yang perlu diapresiasi dari pemerintahan Presiden Jokowi. Ke depan, progress pembangunan ini harus dilanjutkan agar kemajuan di Indonesia bisa diteruskan.

Friday, 26 October 2018

Skenario Jahat di Balik Momentum Polemik Pembakaran Bendera HTI


Skenario Jahat di Balik Momentum Polemik Pembakaran Bendera HTI



Semakin ke sini, modus operandi dari HTI mulai terbongkar. Melalui pembakaran bendera di Garut kemarin, HTI perlahan mulai mengarahkan ujung senapan ke pemerintah.

Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid pada perayaan Hari Santri Nasional (HSN) di Garut beberapa waktu lalu, bukanlah tanpa konteks. Pembakaran itu adalah buntut dari aksi provokasi simpatisan HTI yang mengibarkan atribut organisasi terlarang itu di tengah-tengah barisan santri.

Operasi pengibaran bendera tauhid khas HTI itu terbukti dilakukan secara sistematis. Hal ini berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PBNU yang menunjukkan bahwa aksi pengibaran bendera berwarna hitam itu dilakukan di berbagai tempat secara serentak.

Ini bukti bahwa provokasi yang dilakukan HTI itu direncanakan secara matang dan dilakukan dengan taktik infiltrasi. Tujuannya adalah untuk memprovokasi kelompok umat Islam lainnya.

Kejadian pembakaran tersebut akhirnya dijadikan pemantik untuk mempengaruhi wacana publik. Arahnya sudah jelas, yakni membangun opini bahwa umat Islam sedang dimusuhi. Oleh siapa? Tentu saja, NU yang dibekingi oleh pemerintahan Presiden Jokowi.

Oleh karenanya, tahapan berikutnya para pendukung khilafah itu bersatu dengan para pendukung oposisi untuk menggelar aksi demonstrasi. Kesuksesan aksi 411 dan 212 yang berhasil menggulingkan Ahok sebagai gubernur petahana dijadikan referensi.

Mereka juga memiliki keinginan yang sama, yaitu menjatuhkan Presiden Jokowi, atau membuatnya tak terpilih kembali pada Pemilu 2019 nanti.

Skenario ini yang sedang dibangun oleh kubu HTI dan pendukung kubu Prabowo-Sandi. Mereka memanfaatkan momentum pembakaran bendera HTI di Garut itu sebagai medium untuk membesarkan kembali politik identitas dan isu SARA di masyarakat.

Bagi HTI, serangkaian aksi di atas adalah untuk menegakkan paham khilafah dan mengganti Pancasila, serta menggeser sistem demokrasi. Mereka bakal mendirikan negara Islam.

Sedangkan, bagi pendukung oposisi, momentum pembakaran ini dilihat secara politis. Ini adalah peluang untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.

Mereka memiliki musuh yang sama, yakni rezim Jokowi. Kawin-mawin diantara keduanya yang akhirnya menginisiasi Aksi Bela Tauhid yang digelar di Jakarta, Jum'at (26/10) kemarin.

Salah satu seruan untuk melakukan Aksi Bela Tauhid ini datang dari pentolan FPI, Habib Rizieq Shihab. Dia dari Mekkah menyerukan kepada umat Islam di Indonesia untuk memasang bendera tauhid ala HTI itu di markas-markas FPI. Tak hanya itu juga harus dibawa dalam setiap aksi demonstrasi.

Seruan itu mendapatkan tantangan dari Guntur Romli. Caleg PSI itu meminta Rizieq Shihab untuk memulai seruannya itu dari dirinya sendiri.

Kalau Rizieq berani, coba pasang bendera HTI itu di rumah atau tempat penginapannya di Mekkah. Atau, Rizieq membawa bendera itu di tempat umum. Pasti dia akan berurusan dengan aparat keamanan di Arab Saudi.

Sebab, sebagaimana yang diketahui, kerajaan Arab Saudi adalah salah satu pihak yang melarang HTI tumbuh di negaranya. Berikut larangan mengibarkan atributnya.

Dengan begitu, telah menjadi jelas motif di balik serangkaian kejadian belakangan ini. Dari pembakaran bendera, debat-debat di media sosial, hingga Aksi Bela Tauhid adalah satu rangkaian yang tak terpisah.

Momentum itu ditujukan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi dan mengganti paham negara. Dan, kita tahu kubu mana yang melakukan itu.

Oleh karenanya, kita tak perlu ikut terprovokasi atas gerakan di atas. Bila datang ajakan untuk berdemo, cukup diberikan senyum dan ditolak dengan halus. Agar kita tak menjadi rombongan yang dicatat sejarah sebagai perongrong bangsa dan negara.

Tuesday, 23 October 2018

Kelicikan Organisasi dan Permainan Semiotika HTI, Pelurusan mengenai Kasus Pembakaran Bendera HTI di Garut Jabar

Kelicikan Organisasi dan Permainan Semiotika HTI, Pelurusan mengenai Kasus Pembakaran Bendera HTI di Garut Jabar



Publik belakangan ini digemparkan dengan adanya video pembakaran bendera bertuliskan tauhid. Mereka yang beragama Islam pun langsung panas, mengira ada kelompok yang mencoba mendiskreditkan akidahnya. 

Namun perlu diluruskan sejak awal, pembakaran bendera berwarna hitam dan putih bertuliskan kalimat tauhid oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) itu, sama sekali tak pernah diniatkan untuk membakar kalimat tauhidnya. Namun, membakar simbol Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)-nya. 

Masalahnya, HTI ini secara organisasi sungguh licik dan curang karena memilih bendera Rasulullah Muhammad SAW logo dan simbolnya. Namun, bendera itu digunakan untuk kepentingan politik kekuasaannya. Asal tahu saja, secara harafiah arti kata Hizbut Tahrir artinya adalah partai pembebasan.

Pemilihan logo bendera Nabi yang kemudian ditampilkan sebagai bendera organisasi adalah bentuk permainan simbolisasi visual yang berkembang jauh. Secara historis, mereka meyakini diri sebagai kelompok yang memperjuangkan Islam paling kaffah, sehingga merasa wajib memajang simbol yang merepresentasikan Islam. 

Akibatnya, simbol bendera hitam dan putih tersebut menjadi citra visual terkuat atas HTI di tengah-tengah publik. Secara de facto, HTI tidak pernah menampilkan bendera aslinya, namun mengeksploitasi simbol liwa dan rayyah untuk kepentingan politiknya. 

Buktinya, bukan simbol resmi Hizbut Tahrir sendiri yang tampil di publik. Sangat jarang sekali para aktivis HTI memanggul logo resmi Hizbut Tahrir dalam aksi mereka. Sehingga secara riil, mereka berhasil menanamkan benak masyarakat bahwa simbol HTI yang paling dikenal publik adalah bendera hitam dan putih bertuliskan Lailahaillallah Muhammadarrasulullah. 

Padahal, dalam logo internasional Hizbut Tahrir, bendera liwa dan rayyah tersebut tergambar utuh sebagai bendera, lengkap dengan tiangnya, ditambahi bola dunia, dan tulisan Hizbut Tahrir dalam huruf Arab dan alfabet.

Dengan demikian, HTI telah memainkan kerja semiotika dengan memainkan simbol yang terbentuk secara alami, bukan dengan logika legal-formal. Secara legal memang simbol HTI adalah bendera ditambah bola dunia ditambah tulisan Hizbut Tahrir. Namun, secara de facto dalam benak dan persepsi publik luas, simbol HTI adalah bendera hitam dan putih dengan kalimat tauhid. 

Alhasil, ketika orang-orang bersikap resisten kepada HTI, otomatis mereka akan dituduh resisten juga kepada simbol-simbolnya. Namun, ketika resistensi itu ditujukan secara spontan kepada simbol-publik HTI yakni bendera hitam-putih bertuliskan kalimat tauhid, orang-orang HTI akan menampar balik dengan memainkan retorika klise secara instan membawa-bawa Islam bahwa kita anti atau memusuhi Islam. 

Padahal kalau kita pahami mendalam resisten terhadap bendera HTI tidak sama dan bukan bagian dari resistensi terhadap simbol agama Islam. Dalam konteks di Garut, membakar bendera HTI tidak sama dengan membakar kalimat tauhid. Itu adalah dua hal yang berbeda.

Hal ini juga dibenarkan oleh Wakil Katib PWNU Jateng, KH Nasrulloh Afandi. Bendera HTI, bisa di-qiyas-kan dengan rudal, nuklir, atau senjata pemusnah lainnya, yang sengaja bertujuan menjatuhkan suatu negara yang dalam keadaan aman dan tentram dengan bungkus kalimat tauhid. 

Dengan begitu, apa yang dilakukan oleh Banser NU Garut pada dasarnya bukanlah membakar kalimat tauhid-nya, tetapi memusnahkan alat penjahat negara, yaitu membakar bungkus politisasi agama yang dilakukan oleh organisasi terlarang dan sudah jelas dilarang oleh pemerintah.

Kita benar-benar diuji dalam kasus ini, baik dari segi nalar, logika, dan perasaan, oleh kasus pembakaran bendera HTI ini. Karenanya, kita perlu berpikir jernih agar tidak ssalah tafsir dan mengambil tindakan. 

Di sisi lain, kita juga tak boleh mudah terprovokasi atas kasus terssebut. Mari kita serahkan kepada aparat keamanan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Kita harus jaga perdamaian, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di tengah ancaman gelombang pasang konservatisme agama.

Pembakaran Bendera HTI, Pengertian Liwa dan Rayyah, serta Beberapa Kesalahanpahaman Kita

Pembakaran Bendera HTI, Pengertian Liwa dan Rayyah, serta Beberapa Kesalahanpahaman Kita


Polemik mengenai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibakar oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) terus berlanjut. Ruang media sosial kini banyak diisi oleh tudingan bahwa Banser membakar simbol agama Islam.

Permasalahan tersebut berangkat dari pemahaman bahwa simbol yang berisi kalimat tauhid dalam bendera HTI itu dianggap sakral. Sehingga, siapapun yang membakar bendera HTI akan dituduh menghina agama Islam. Namun benarkan penalaran seperti itu?

Jawabannya, tidak benar. Kita perlu sedikit meluruskan pemahaman mengenai bendera ini.

Bendera hitam putih yang sering dibawa aktivis HTI merupakan simbol gerakan pemberontakan (bughat) terhadap daulah Islamiyah (NKRI). Bendera tersebut terinspirasi oleh hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tentang liwa rayah yang merupakan bendera simbol kenegaraaan kaum muslimin.

Sedangkan di Indonesia telah disepakati bahwa bendera merah putih sebagai simbol pemersatu rakyat. Merah putih itulah liwa rayah kita saat ini. Sudah seharusnya masyarakat Indonesia mengusung bendera merah putih sebagai liwa rayah.

Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan umatnya menggunakan liwa rayah hitam putih bertuliskan dua kalimat syahadat. Perihal bendera negara diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan umatnya.

Berdasarkan konteks hadits terkait Liwa dan Rayah, terlihat jelas bahwa Rasulullah SAW menggunakan liwa dan rayah dalam konteks politik identitas tertentu. Liwa dan rayah pada masa itu adalah suatu identitas negara.

Konvensi internasional mengatakan bahwa eksistensi negara salah satunya dilambangkan dengan sebuah bendera. Inilah fungsi dari Liwa.

Adapun Rayah berfungsi adminstrasi (idariyah) di dalam negeri, khususnya di angkatan perang (jihad). Di kancah peperangan, bendera itu jadi penanda pasukan dan pemegang bendera yang jadi pemimpin pasukan.

Fungsi politik kenegaraan liwa dan fungsi administrasi rayah merupakan fungsi yang dimiliki setiap bendera negara. Bendera Liwa Rayah di masa Nabi Muhammad SAW tidak memiliki konotasi keagamaan secara khusus. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa bendera tauhid merupakan produk budaya sebagai lambang negara.

Nilai bendera terletak pada fungsinya bukan pada bentuknya. Bentuk bendera mengikuti konvensi, konsensus dan adat yang sedang berlaku.

Kalimat tauhid adalah kalimat universal milik semua kaum muslimin. Tauhid adalah doktrin tentang keesaan Allah SWT yang diyakini dalam hati, diaktualisasikan dengan perbuatan dan termanifestasi menjadi kebudayaan dan peradaban. Sehingga, tauhid bukanlah bendera tapi aqidah.

Namun, akhir-akhir ini bendera tauhid banyak dipakai oleh ormas Islam dalam berbagai kegiatan. Secara konteks, belum ada definisi baku tentang bendera tauhid, namun dari persepsi umum yang dimaksud bendera tauhid yaitu sepotong kain bersegi yang bertuliskan kalimat dua kalimat syahadat.

Bendera tauhid memiliki beberapa variasi antara lain bendera Kerajaan Arab Saudi yang ditambah gambar pedang di bawah kalimat syahadat berlatar kain warna hijau. Adapun bendera Persyarikatan Muhammadiyah menambah kata muhammadiyah di tengah apitan tulisan dua kalimat syahadat yang berbentuk setengah lingkaran dipagari oleh garis-garis sinar matahari di atas kain warna hijau.

Bahkan, kelompok ISIS mempunyai bendera warna hitam dengan tulisan Muhammad Rasulullah berbentuk bulat yang mereka yakini seperti stempel yang pernah digunakan Rasulullah Muhammad SAW pada surat-surat beliau.

Sedangkan, ormas Islam di Indonesia yang juga menggunakan dua kalimat syahadat pada benderanya antara lain: FPI, FUI, Jama’ah Ansharusy Syariah dan HTI.

Di dalam bendera HTI sendiri terdapat perbedaan dengan logo Hizbut Tahrir internasional. Logo HT Internasional berupa bola dunia bertuliskan Hizbut Tahrir ditengahnya. Sedangkan HTI menggunakan tiang bendera tauhid berwarna hitam dan putih di posisi huruf I kata tahrir dan Indonesia pada nama Hizbut Tahrir Indonesia.

HT dan HTI lebih menonjolkan bendera tauhid yang mereka sebut bendera Rasulullah yang bernama Liwa dan Rayah dibandingkan lambang/ logo kelompok mereka sendiri. Diantara ormas Islam yang menjadikan dua kalimat Syahadat sebagai lambang, hanya HTI dan ISIS yang begitu fanatik.

Membakar dua bendera organisasi tersebut, tidak bisa disamakan dengan membakar kalimat tauhid. Karena konteksnya berbeda sebagaimana yang dijelaskan di atas. Membakar bendera HTI, meskipun ada kalimat tauhidnya, ditujukan untuk mendiskreditkan lambang organisasi tersebut. Bukan pada kalimat tauhidnya. Itu adalah dua hal yang berbeda.

Asal tahu saja, membakar benda yang bertuliskan lafadz Allah di dalamnya tak hanya dilakukan oleh Banser NU saja. Pada masa sahabat dulu juga pernah dilakukan.

Alkisah, pada masa perang irminiyah dan perang adzrabiijaan, terdapat perbedaan pada wajah qiraah beberapa sahabat dimana sebagian bercampur dengan bacaan yang salah. Utsman radhiyallahu ‘anhu kemudian memerintahkan kepada sahabat untuk menulis ulang Al-Qur’an, mengirimkan Al-Qur’an tersebut ke seluruh penjuru negeri dan memerintahkan kepada manusia untuk membakar Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan kodifikasi beliau.

Hal tersebut menjadi rujukan dari upaya menjaga persatuan dan kesatuan umat. Dalam konteks yang hampir sama juga terjadi pada peringatan hari santri di Tasikmalaya kemarin. Banser NU membakar kain hitam putih sebagai simbol organisasi terlarang, yang kemudian menimbulkan kontroversi dan polemik.

Giat Bersilaturahmi, Ini Rangkaian Kegiatan Cawapres KH. Ma'ruf Amin di Tasikmalaya


Giat Bersilaturahmi, Ini Rangkaian Kegiatan Cawapres KH. Ma'ruf Amin di Tasikmalaya



Meski tak muda lagi, Calon Wakil Presiden (cawapres) KH. Ma'ruf Amin rajin berkeliling ke berbagai kota untuk bersilaturahmi sekaligus berkampanye. 

Seperti beberapa waktu lalu, KH. Ma'ruf Amin menghadiri apel Hari Santri Nasional di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebelumnya, Ma'ruf Amin juga menghadiri acara puncak perayaan HSN 2018 di Bandung.

Kunjungannya ini merupakan bagian dari kampanyenya di dua kota di Jabar.

Usai menghadiri acara itu, Kiai Ma'ruf pun bertolak ke Pesantren Cipasung. Di tempat itu, Rais Aam PBNU itu dijadwalkan menghadiri acara haloqoh para alim ulama Priangan Timur, sekaligus bersilaturahmi dengan para pimpinan dan para santri di pesantren tersebut.

Di Ponpes Cipasung itu, KH. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa ulama memiliki peran penting dalam pembangunan, mencerdaskan bangsa, menjaga jalan dakwah, hingga mencetak ulama di generasi masa depan. 

Karena peran besar yang diembannya itu, Mantan Ketua MUI itu berharap para ulama bisa membaca perkembangan masa. Jangan sampai tenggelam dalam perubahan zaman yang sangat cepat ini. 

Apalagi di tengah situasi seperti saat ini, dimana ulama memiliki tanggung jawab bersama untuk terua menjaga NKRI. Juga, menangkal perpecahan dari pihak-pihak yang ingin merongrong Republik ini.

Pesan KH. Ma'ruf Amin itu patut direnungkan bersama. Berkampanye bisa dilakukan dengan cara yang santun, berbobot, dan menyebarkan optimisme.

Kinerja Jokowi Dinilai Memuaskan menurut Mayoritas Lembaga Survei

Kinerja Jokowi Dinilai Memuaskan menurut Mayoritas Lembaga Survei



Kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dinilai sangat memuaskan oleh masyarakat. Hal ini berdasarkan hasil riset lembaga survei yang kredibel di Indonesia.

Sedikitnya ada 5 lembaga survei yang menemukan bahwa masyarakat sangat puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Diantaranya, Poltracking, Populi Center, Indikator, Litbang Kompas, dan IndoBarometer.

Survei Poltracking dilakukan pada 27 Januari - 3 Februari 2018 dengan 1.200 responden. Hasilnya sebanyak 68,9 persen responden puas, 26,2 persen tidak puas, dan 4,9 persen lainnya mengatakan tidak tahu ketika ditanyai soal penilaiannya terhadap kinerja pemerintah Jokowi-JK.

Menurut survei Populi Center yang dilakukan pada 7-16 Februari 2018 menunjukkan 63,4 persen responden puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK, yang kurang puas sebesar 34,1 persen.

Indikator melakukan survei pada 25 - 31 Maret 2018 dengan hasil bahwa sebanyak 71,3 persen responden menyatakan puas dan 27,3 persen mengatakan tidak puas terhadap kinerja Jokowi-JK.

Kepuasan terhadap kinerja Jokowi mencapai angka 72,2persen responden dan 27,6 persen tidak puas. Hal ini berdasarkan survei Litbang Kompas pada 21 Maret - 1 April 2018.

Terakhir, IndoBarometer menemukan bahwa sebagian besar responden puas terhadap kinerja Jokowi-JK. Hasilnya, dengan 68,6 persen responden puas dan 29,4 persen menyatakan tidak puas kepada kinerja Jokowi sebagai presiden.

Adapun alasan masyarakat puas dengan kinerja pemerintahan Presiden Jokowi dan JK karena keduanya dinilai berhasil meningkatkan pembangunan infratruktur 29,7 persen, banyaknya pencapaian 18,1 perseb dan bantuan bagi rakyat kecil 13,8 persen.

Kemudian diikuti alasan, kinerja bagus 8,7 persen, ketegasannya 5,0 persen dan pembangunan di daerah terpencil 4,6 persen.

Hasil survei di atas menjadi modal kuat bagi Presiden Jokowi untuk memimpin kembali pada periode kedua nantinya.

Politik Kebohongan Harus Dihentikan, Tak Mendidik Masyarakat Sekaligus Merusak Tatanan Demokrasi


Politik Kebohongan Harus Dihentikan, Tak Mendidik Masyarakat Sekaligus Merusak Tatanan Demokrasi



Politik kebohongan menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Begitu berbahaya karena  digunakan untuk menjatuhkan lawan politik dengan membakar amarah masyarakat akar rumput.

Kasus Ratna Sarumpaet adalah gambaran yang gamblang. Itu menjadi cerminan dunia politik Indonesia menjelang Pilpres 2019. Kebongan yang diciptakan elit politik begitu berimbas pada pemilih di akar rumput.

Hal itu seperti yang diterangkan oleh guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Azyumardi Azra. Menurutnya, political lies dan lies politics itu banyak melanda kalangan elite politik yang mengimbas ke lingkungan pemilih akar rumput.

Dalam situasi seperti ini Diharapkan, masyarakat di akar rumput tidak menjadi seperti rumput kering yang sangat mudah tesulut dan terbakar kebohongan politik sumbu pendek.

Rangkaian kebohongan dalam kasus hoax Ratna Sarumpaet  itu jelas menyeret sejumlah politisi di dalamnya. Lantaran, sudah barang tentu kebohongan itu bisa dijadikan senjata, khususnya kelompok oposisi Tim Kampanye Capres-wapres Prabowo-Sandi, dengan memviralkan kasus itu melalui media sosial.

Politik hoaks ataupun hoaks politik memang seharusnya dihindari dalam sistem demokrasi. Karena politik hoaks atau kebohongan itu bisa merusak tatanan demokrasi dan tidak mencerdaskan masyarakat.

Harusnya berpolitik adalah saling tukar menukar gagasan. Saling tukar ide bagaimana caranya membangun bangsa, bukan menjual kebohongan hanya untuk meraih kekuasaan.

Kasus Ratna Sarumpaet itu sama sekali tidak mendidik masyarakat. Dan, dijadikan senjata yang gagal oleh kubu Prabowo-Sandi. Tetapi kita telah mencatat kasus itu untuk membuat perhitungan di kotak suara nanti.

Polemik Pembakaran Bendera dan Bahaya Provokasi Massa

Polemik Pembakaran Bendera dan Bahaya Provokasi Massa



Belakangan ini publik sedang digemparkan dengan beredarnya video oknum anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) membakar bendera tauhid. Praktis itu membuat situasi sedikit memanas karena dianggap menghina simbol agama.

Namun benarkah demikian maksud dari anggota Banser di Garut tersebut?

Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menyatakan bahwa pembakaran itu terjadi karena anggotanya melihat bendera itu sebagai simbol organisasi terlarang, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sedangkan, HTI sendiri telah dilarang di Indonesia.

Pembakaran itu bukan dimaksudkan untuk merendahkan ataupun menghina kalimat tauhid yang tertulis. Sebaliknya, justru untuk menghormati dan menjaga kesucian kalimat tauhid tersebut.

Dalam bendera organisasi HTI, memang, terdapat simbol tauhid, namun bila kita membakar bendera itu bukan berarti kita membakar kalimat tauhid tersebut. Karena maksudnya adalah untuk mendiskreditkan organisasi terlarang tersebut.

Meski maksudnya benar, tetapi banyak masyarakat yang salah paham. Oleh karena itu, ke depan Banser sebaiknya tidak perlu melakukan pembakaran bendera seperti itu. Cukup diberikan saja bendera HTI itu kepada aparat keamanan agar disita.

Apa yang diungkapkan oleh Gus Yaqut di atas senada dengan Ketua GP Ansor Jawa Barat, Deni Haedar. Pembakaran bendera itu didasari oleh niat untuk menjaga kesucian ayat suci dari aktivitas yang tidak semestinya.

Dalam tradisi ahlussunnah wal jama'ah, untuk menjaga kalimat thayyinah atau tulisan ayat-ayat suci dari kemungkinan dihinakan adalah dengan cara dibakar. Seperti, misalnya, kalau kita menemukan robekan ayat Al Qur'an atau sobekan kitab-kita, maka daripada terinjak-injak akan lebih baik dibakar.

Begitu pula logika dalam menjaga kalimat tauhid yang berada di bendera HTI. Mengingat organisasi itu tidak sesuai dengan paham dan tujuan bernegara di Indonesia.

Apalagi melihat duduk perkaranya, diakui memang ada upaya provokasi dari pendukung HTI sendiri. Ketika itu pada peringatan Hari Santri Nasional, ada seseorang yang membawa bendera HTI mendekati anggota Banser. Sontak, aksi itu membuat anggota Banser terkaget dan memicu reaksi spontan dari anggota Banser.

Atas insiden tersebut, sejumlah ormas Islam di beberapa daerah berencana melakukan demonstrasi, seperti yang terjadi di Surakarta. Mereka menuntut pembakar bendera HTI itu dihukum karena telah melukai hati umat Islam di Indonesia.

Ajakan provokatif itu harus dipahami sebagai kedok HTI untuk mencari panggung dan perhatian masyarakat demi kepentingan politiknya. Bisa dipastikan bahwa ujung dari kegiatan tersebut adalah penggorengan isu, penyebaran informasi sesat, serta ujaran kebencian.

Oleh karena itu, kita harus waspada dengan momentum seperti saat ini, dimana HTI sangat berpotensi menggoreng isu untuk memanfaatkan situasi dan menyusup di setiap aksi demonstrasi umat Islam.

Akan lebih baik bila kita serahkan kasus ini kepada pihak kepolisian untuk mengusutnya. Saat ini, polisi telah mengamankan 2 pelaku yang diduga pembakar bendera HTI itu, serta mengejar pihak yang membawa bendera.

Jika perbuatan Banser di atas dinilai melanggar hukum, seharusnya pihak yang mendukung HTI itu melaporkannya ke polisi, bukan jutru memviralkan di media sosial untuk membawa opini publik yang negatif.

Aksi itu memang ditujukan sebagai provokasi dan agitasi agar masyarakat sangat marah kepada Banser dan NU. Ujung-ujungnya akan digiring kepada kesalahan Presiden Jokowi. Suatu pola yang mudah sekali terbaca.

Oleh karena itu, masyarakat sebaiknya tidak mudah terprovokasi atas isu yang masih liar dan digoreng habis-habisan oleh kelompok HTI dan Islam radikal lainnya.

Monday, 22 October 2018

Angka-Angka Indikator Kemajuan dalam 4 Tahun Pemerintahan Presiden Jokowi


Angka-Angka Indikator Kemajuan dalam 4 Tahun Pemerintahan Presiden Jokowi

Masa 4 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo ditandai dengan indikator perekonomian yang cukup menjanjikan. Hal ini menjadi modal kuat bagi Presiden Jokowi untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode kedua.

Mayoritas masyarakat Indonesia sendiri sangat puas dengan kinerja Presiden Jokowi selama ini. Menurut sejumlah survei, tingkat kepuasan masyarakat atas pemerintah selalu di atas 60 persen.

Hal itu karena secara fakta yang didukung oleh data menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia terus membaik.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak tahun 2015 hingga September 2018, inflasi selalu di bawah angka 4 persen. Dengan begitu, adanya isu bahwa harga bahan pokok melonjak jelas tidak terbukti. Justru sebaliknya inflasi harga pangan terus dijaga oleh pemerintah.

Bahkan, per September 2018, angka inflasi itu terus turun sampai angka 2,88%. Dengan begitu, terbukti bahwa pemerintahan Presiden Jokowi berhasil menjaga stabilitas bahan pangan.

Kemudian, angka kemiskinan berada pada titik terendah sebesar 9,82% per Maret 2018. Hal ini disebabkan oleh faktor inflasi umum yang hanya 1,92 persen dan rata-rata pengeluaran per kapita tiap bulan untuk rumah tangga di 40 persen lapisan terbawah tumbuh 3,06 persen.

Tak hanya itu, bantuan sosial tunai dari pemerintah yang tumbuh 87,6 persen pada kuartal I 2018 atau lebih tinggi dibanding kuartal I 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen.

Sejumlah indikator lain juga terlihat positif. Misalnya, di bidang agraris, nilai tukar petani pada Maret 2018 di atas angka 100, yaitu 101,94.

Tingkat pengangguran di Indonesia turun dari 5,70 persen menjadi 5,13 persen. Daya saing Indonesia naik hingga peringkat 45 dari 170 negara.

Kemudian, Presiden Jokowi mengalokasikan anggaran pendidikan hingga Rp147,56 trilliun pada tahun 2018.

Pembangunan yang merata dan berkeadilan, serta peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia adalah fokus pemerintahan Presiden Jokowi. Angka-angka di atas secara umum cukup menggambarkan visi pemerintahan tersebut.

Kita berharap agar kemajuan ini terus berlanjut. Oleh karenanya, tak ada pilihan lain kecuali kita memastikan Jokowi tetap menjadi Presiden pada 2019-2024 mendatang.