Tuesday, 30 April 2019

Inilah Target Delegitimasi Pemilu versi 02

Inilah Target Delegitimasi Pemilu versi 02


Kubu Prabowo-Sandi seperti tak henti-hentinya menyebarkan isu sesat untuk mendelegitimasi Pemilu 2019. Upaya itu pun dirancang dengan seksama dan target yang spesifik. 

Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo. 

Ia menilai digaungkannya isu "people power" ini memilki sejumlah target secara spesifik. 

Pertama, people power digunakan untuk mendelegitimasi hasil pemilu dengan cara mendeligitimasi penyelenggara pemilu. 

Kedua, sekadar membentuk persepsi agar tertanam dalam memori kolektif publik bahwa pasangan Prabowo-Sandi yang menang dan apabila nanti pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin yang dinyatakan sebagai pemenang, maka publik akan mempersepsikan kemenangan tersebut dipetik dari kecurangan.

Ketiga, target ancaman people power dilakukan sebagai upaya spekulasi siapa tahu ada pemilu ulang. 

Keempat, isu people power sekadar untuk menakut-nakuti masyarakat.

Meski sudah dirancang dengan seksama oleh kubu 02, langkah itu bukan tanpa bisa dicegah. Langkah paling tepat untuk mengantisipasi people power ini adalah dengan mengedepankan pendekatan persuasif. 

Setelah itu perlu memisahkan kelompok tersebut dari rakyat karena ada upaya untuk menyeret rakyat agar ikut ambil bagian dari gerakan people power yang direncanakan.

Selain itu, masyarakat harus diberikan pemahaman agar tidak terpengaruh dengan isu people power.

Kemudian, jika ada dugaan kecurangan maka harus ditindak dan diperbaiki. Jangan biarkan rakyat terprovokasi dan ikut dalam barisan kelompok yang mewacanakan people power. 

Jika diabaikan maka massa di akar rumput yang masih labil bisa terpengaruh.

Mari kita jaga Indonesia dari bahaya perpecahan pasca Pemilu 2019 ini. Langkah people power yang diinisiasi kubu Prabowo-Sandi untuk membenturkan masyarakat harus dicegah.

Kesalahan Minor, Tak Ada Alasan Prabowo-Sandi Delegitimasi Pemilu

Kesalahan Minor, Tak Ada Alasan Prabowo-Sandi Delegitimasi Pemilu


Selama ini kubu Prabowo-Sandi selalu menuduh adanya kecurangan dalam Pemilu 2019. Salah satu indikasi yang kerap ditunjukkan adalah kesalahan entry data di sistem rekapitulasi KPU. 

Kesalahan-kesalahan itu selalu diwacanakan seolah terjadi secara terstruktur, masif dan sistematis. 

Padahal faktanya tidak demikian. Kesalahan itu terjadi hanya karena human error (kesalahan manusiawi). 

Hal ini seturut dengan penilaian peneliti dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Erik Kurniawan. Ia menilai kesalahan entry data yang terjadi pada rekapitulasi hasil Pemilu saat ini semata-mata karena human error atau kesalahan manusia. 

Hal itu karena kesalahan yang terjadi sangat sedikit dari 800.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Alhasil ini bisa dimaklumi karena banyaknya varian yang harus diinput. 

Adanya catatan minor tersebut harus dijadikan bahan evaluasi menyeluruh bagi penyelenggara. Namun kekurangan tersebut, bukan alasan untuk mendelegitimasi hasil pemilu.

Partisipasi masyarakat yang sangat tinggi, tidak hanya untuk memilih tapi juga untuk mengawal proses dan hasil pemilu. Hal ini menjadi wujud nyata legitimasi Pemilu 2019.

Kita perlu akui memang ada beberapa pelanggaran pada Pemilu kali ini. Berbagai pelanggaran itu pun ada dan nyata. 

Namun desain regulasi Pemilu yang ada sebenarnya telah memberikan ruang bagi siapapun yang tidak puas untuk menempuh jalur hukum.

Jika terjadi pelanggaran administrasi bisa dilaporkan ke Bawaslu. Sementara pelanggaran pidana bisa lewat Bawaslu/Gakkumdu. Adapun planggaran etik diadukan ke DKPP dan masalah sengketa perselisihan hasil bisa di bawa ke MK.

Silakan gunakan jalur hukum bagi siapapun yang ingin komplain terhadap proses Pemilu 2019‎. Itu langkah satu-satunya yang dijamin konstitusi. 

Di luar itu bisa dikatakan tindakan inkonstitusional. Apalagi bila ingin mengerahkan people power yang bisa memecah belah bangsa Indonesia.

Tak Ada Fungsi, Pembentukan TPF Tak Diperlukan Lagi

Tak Ada Fungsi, Pembentukan TPF Tak Diperlukan Lagi


Beberapa waktu lalu, wacana pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) kecurangan Pemilu 2019 sempat menguat. Meskipun akhirnya wacana tersebut dianggap tak perlu.

Adalah, Direktur Materi Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Sudirman Said yang menginisiasinya.

Ia mendorong masyarakat sipil untuk membentuk tim independen pencari fakta kecurangan pada Pemilu 2019.

Menanggapi itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan, TPF kecurangan Pemilu tak diperlukan dalam mengawal hasil resmi rekapitulasi Pemilu 2019 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pasalnya sejauh ini, Pansus sudah ditolak. Karena itu pencarian fakta sudah tak diperlukan lagi. 

Kita memang tidak boleh menduplikasi sistem lagi. Apalagi sudah ada hukum yang mengatur segala masalah pemilu ini.

Jika ada pihak yang menduga terjadi kecurangan pemilu, maka harus mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku dengan melaporkannya ke penyelenggara pemilu dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kita tentu saja sepakat dengan pendapat Wiranto di atas. Upaya kubu 02 untuk membentuk tim independen pencari fakta itu hanya akan membuat kegaduhan pasca Pemilu. 

Toh, Pemilu juga sudah berjalan dengan baik, meskipun ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki.

Selain itu, pembentukan TPF itu juga seolah meremehkan kinerja Bawaslu sebagai pengawas dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang diamanatkan UUD 1945 untuk memeriksa dan mengadili perkara Pemilu. 

Itulah wacana kosong yang coba diangkat oleh kubu Prabowo-Sandi untuk membalikkan keadaan. Mereka tahu akan kalah, maka hanya dengan menggagalkan hasil Pemilu mereka bisa membalikkan keadaan. 

Oleh karena itu, jangan mau diprovokasi dengan wacana seperti itu. Tolak TPF Kecurangan Pemilu yang menyesatkan.

Terus Hembuskan Isu Curang, BPN Prabowo-Sandi Ingin Delegitimasi Pemilu

Terus Hembuskan Isu Curang, BPN Prabowo-Sandi Ingin Delegitimasi Pemilu


Upaya delegitimasi Pemilu masih terus dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi. Mereka memanfaatkan isu "Pemilu Curang" sebagai pintu masuk untuk membatalkan hasil Pemilu saat ini.

Salah satu cara yang didorong oleh BPN Prabowo-Sandi adalah dengan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF). Tim ini akan bekerja terkait adanya dugaan kecurangan Pemilu 2019.

Terlepas dari manuver mereka, kita bisa membaca tudingan kecurangan pemilu yang dilayangkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-sandiaga Uno tersebut sebagai upaya delegitimasi. 

BPN saat ini tengah membangun opini publik terkait proses penyelenggaraan Pemilu yang dianggapnya curang. Bila rakyat mengikuti ini harapannya bisa muncul people power yang akan menggagalkan keterpilihan Jokowi-Maruf Amin.

Taktik tersebut disadari penuh oleh Prabowo saat ini, mengingat hanya dengan cara seperti itu dia bisa memperoleh kemenangan. 

Jika tudingan itu benar, seharusnya BPN Prabowo bisa membuktikan kecurangannya. Mereka bisa melapor ke Bawaslu, DKPP ataupun ke MK. 

Toh sekarang konstitusi telah memberikan salurannya. Tak perlu dengan cara-cara inkonstitusional seperti itu.

Oleh karena itu, Ketua Harian TKN, Moeldoko, menantang BPN untuk membuktikan kecurangan yang terjadi selama proses pemungutan suara tersebut. Dia meminta kubu calon presiden (capres) penantang tidak asal menuduh adanya kecurangan.

Mantan panglima TNI ini meminta BPN untuk terbuka terkait kecurangan yang dimaksud. Dia juga meminta kubu pasangan calon (paslon) 02 untuk terbuka terkait data-data penghitungan suara seperti yang dilakukan kubu paslon 01.

Pasalnya, hembusan isu kecurangan itu sudah dari dulu. Sejak sebelum pemungutan berlangsung hingga sekarang. 

Karena itu bisa dikatakan memang ada upaya-upaya sistematis untuk mendelegitimasi KPU saat ini.

Kita berharap agar semua peserta pemilu tetap patuh pada aturan hukum. 

Jika memang terjadi kecurangan sudah ada panwaslu, kepolisian, dan pers. Selain itu ada juga saksi dari masing-masing kubu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta partai-partai politik.

Yang dibutuhkan sekarang ini adalah sikap bijak kita semua. Mari dorong suasana politik ke arah itu, jangan diperkeruh kembali. 

Tokoh Pemuda: Mari Hentikan Upaya Delegitimasi Pemilu 2019

Tokoh Pemuda: Mari Hentikan Upaya Delegitimasi Pemilu 2019


Pemilu 2019 telah selesai digelar, namun serangan terhadap KPU sebagai institusi penyelenggara Pemilu terlihat masih tajam dan masif. 

Hal ini mengundang keprihatinan yang mendalam, termasuk dari organisasi pemuda.

Sebagaimana diketahui, upaya delegitimasi hasil Pemilu terus menerus dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi. Mereka sering menuduh KPU curang dan tidak netral.

Kondisi ini bila dibiarkan berlarut-larut akan memecah belah bangsa. Karena telah menciptakan polarisasi antar pendukung kandidat capres. 

Menanggapi itu, Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Abdul Aziz, meminta agar para pihak yang mencoba menyudutkan kinerja KPU berhenti memprovokasi dan menyudutkan KPU.

Seharusnya kita justru memberikan apresiasi yang tinggi terhadap KPU yang sudah bekerja keras demi menyelenggarakan Pemilu yang bersih dan jurdil. 

Diantara itu mungkin kita masih menemukan beberapa kekurangan, namun hal itu masih dapat dimaklumi.

Tokoh pemuda tersebut juga mengajak semua pihak agar menyikapi proses kontestasi politik ini dengan kepala dingin. Karena kedewasaan sikap tersebut akan dicatat oleh rakyat Indonesia di kemudian hari. 

Diakui atau tidak, memang sudah seharusnya pihak-pihak yang mencemooh dan mendelegitimasi KPU itu berhenti saat ini. 

Akan lebih baik apabila pihak-pihak tersebut  membantu tugas institusi penyelenggara Pemilu tersebut daripada sekadar "nyinyir". Karena mencemooh saja tidak akan mengubah keadaan. 

Kita sepatutnya mendukung KPU dan mengawasinya. Bila ada salah kita ingatkan, tetapi tak perlu hingga menjatuhkan lembaganya. 

Mari hentikan upaya delegitimasi hasil Pemilu dan lembaga penyelenggarannya.

Monday, 29 April 2019

Gerakan People Power Itu Inkonstitusional dan Melanggar Hukum

Gerakan People Power Itu Inkonstitusional dan Melanggar Hukum


Tudingan curang terus menerus dikemukakan oleh kubu Prabowo Subianto pasca Pilpres 2019 ini. Mereka menuduh penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) tak netral dan menguntungkan lawannya. 

Klaim kecurangan tersebut menjadi dasar bagi mereka untuk mendorong gerakan "people power". Sebagaimana diketahui, people power ini adalah upaya mobilisasi massa dalam skala besar dan ditujukan untuk merebut kekuasaan. 

Terkait dengan itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji meminta semua peserta pemilu dan para pendukung untuk menahan diri dalam menunggu hasil penghitungan resmi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika muncul ketidakpuasan, harus disalurkan melalui tatanan yang diatur dalam perundang-undangan.

Menurutnya, keberatan-keberatan dapat diajukan secara hukum melalui Bawaslu bila terkait proses penyelenggaraan pemilu, kepada Mahkamah Kontitusi (MK) bila terkait perselisihan hasil suara dan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bila terkait dugaan pelanggaran etik dari penyelengara pemilu.

Pernyataan maupun perbuatan yang mengarah kepada keberatan dan disalurkan melalui mekanisme non-regulasi yuridis seperti misalnya people power yang bertujuan mendelegitimasi KPU maupun kelembagaan penyelenggaran pemilu adalah jelas dan tegas melanggar UU pemilu.

Selain melanggar perundang-undangan, people power yang mengarah pada langkah revolusi kekuasaan tersebut juga merupakan langkah inkonstitusional. Selain itu, juga masuk dalam kategori pidana sehingga bisa dijerat KUHP. 

Tak hanya itu, konten ancaman kekerasan terhadap kelembagaan negara formal dan isu SARA yang disebarluaskan melalui media elektronik juga bisa dianggap pelanggaran UU ITE.

Kita berharap semua pihak yang merasa keberatan atas dugaan kecurangan atau kekurangan terhadap metode quick count atau real count harus disalurkan melalui mekanisme hukum dan tetap berbasis due process of law.

Inilah ciri dari negara hukum. Kita harusnya mematuhi aturan yang sudah disepakati bersama. 

Jangan mau bila diajak dalam gerakan yang melanggar konstitusi atau hukum yang berlaku, misalnya people power yang digaungkan kubu Prabowo dkk itu.

Cara Prabowo Klaim Kemenangan dan Ciptakan Kegaduhan pasca Pemilu

Cara Prabowo Klaim Kemenangan dan Ciptakan Kegaduhan pasca Pemilu


Calon Presiden Prabowo Subianto beberapa kali mendeklarasikan kemenangan pada Pilpres 2019. Hingga hari ini, Prabowo terhitung sudah lima kali melontarkan klaim kemenangan tersebut.

Klaim kemenangan itu berpegang pada quick count, exit poll, dan real count yang dilakukan oleh tim internalnya. 

Masalahnya, data tersebut tak bisa diakses oleh publik. Bila ditanya selalu "ngeles", juga tak pernah ditunjukan lokasi penghitungannya.

Maka tak aneh bila masyarakat pun meragukan klaim kemenangan tersebut. Oleh karena itu, kemenangan Prabowo-Sandi menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Padahal, menurut perhitungan cepat sejumlah lembaga survei dan real count KPU sementara ini, pasangan Joko Widodo dan KH. Maruf Amin yang lebih unggul. 

Hasil quick count dari lembaga survei itu memang bukan penentu kemenangan dalam Pilpres 2019 ini. Tetapi hasil perhitungan tersebut bisa menjadi rujukan awal untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan mandat rakyat untuk lima tahun ke depan. 

Mengingat selama ini, perhitungan cepat itu memiliki akurasi yang tinggi. Kalaupun geser angkanya, tetapi itu tak pernah mengubah kedudukan siapa yang menang dan kalah. 

Parahnya, hasil hitung cepat itu malah dituduh kubu Prabowo sebagai usaha menggiring opini publik. Tak hanya itu, hasil tersebut juga dijadikan dasar tuduhan klaim kecurangan yang ada di Pemilu 2019. 

Diakui atau tidak, mereka saat ini memang sedang menggaungkan isu kecurangan dalam Pemilu. Hal itu untuk mempertahankan 'semangat juang' pendukungnya bahwa Prabowo-Sandi kalah karena dicurangi.

Klaim kecurangan itu pula yang dijadikan bahan bakar untuk menggerakkan massa menuju people power. Kubu 02 sudah kehilangan akal untuk memenangkan pertarungan. 

Cara satu-satunya tinggal menggunakan "people power" atau mobilisasi kerusuhan yang membuat negara kacau. 

Makanya segala sesuatunya saat ini diarahkan ke upaya people power itu. Mulai dari deklarasi kemenangan, bantahan terhadap hasil quick count, delegitimasi KPU, hingga isu kecurangan Pemilu, semua diarahkan untuk menjadikan 'people power' sebagai tujuannya. 

Inilah cara yang dipilih Prabowo untuk mendapatkan kemenangannya. Sayangnya, cara itu telah membuat kegaduhan rakyat dan inkonstitusional.

Thursday, 25 April 2019

"Pakai Otak!", Pesan Menteri Pertahanan kepada Prabowo dan Pendukungnya

"Pakai Otak!", Pesan Menteri Pertahanan kepada Prabowo dan Pendukungnya


Tidak semua elit politik di Indonesia dapat bersikap dewasa dalam menyikapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Hal itu tergantung dengan kelapangan dada dan sikap kenegarawanannya.

Salah satu yang patut menjadi perhatian adalah kelakuan sejumlah elit yang menjelek-jelekkan penyelenggara Pemilu karena hasilnya tidak sesuai harapan. Apalagi menuduh mereka berbuat curang.

Hal itulah yang membuat geram Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu. Ia mengecam pihak yang menyebarkan isu sesat KPU curang. 

Juga mereka yang menghasut masyarakat untuk tidak puas dengan hasil Pemilu dan menggalang people power.

Kegeraman Ryamizard itu terlebih melihat banyaknya petugas Pemilu yang meninggal akibat kelelahan saat bertugas. Mereka telah berjuang keras, tetapi justru dituduh macam-macam oleh elit-elit yang termakan dengan ambisi kuasa itu.

Menurut Menhan, pihak yang menuduh KPU curang itu seharusnya melihat pengorbanan para petugas.

"(Yang) menjelekkan KPU tuh tidak pakai otak apa. Lihat yg bekerja setengah mati itu, harus dihargai itu, kok malah tidak menghargai mereka. Curang apa? Sampai meninggal mereka," tegasnya.

Menhan sendiri menyebut mereka sebagai pahlawan. Hal itu diungkapkan Ryamizard usia memberikan pengarahan pada prajurit Kodam IV Diponegoro di Makodam IV Diponegoro. 

Ia sendiri mengakui dengan tulus serta menghormati jasa para petugas yang meninggal tersebut.

Harus diakui, KPU dan jajarannya di lapangan itu telah bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini. Mereka itu adalah pahlawan demokrasi dan harus diapresiasi. 

Adanya upaya mendiskreditkan, berikut dengan penyebarluasan isu sesat, bahwa KPU curang dan tidak netral itu sungguh keji. Hal itu merupakan perbuatan yang tidak bisa diterima.

Penyebarluasan isu sesat itu pun bukan tanpa konteks. Hal itu karena manuver satu-satunya dari kubu Prabowo-Sandi tinggal ke MK saja. Sehingga mau tidak mau mereka akan terus menggoreng isu kecurangan ini.

Permainan politik kubu Prabowo ini sungguh tidak cantik. Mereka terus menyulut emosi massa agar mau digerakkan untuk people power. Itulah satu-satunya jalan bila mereka ingin membalikkan keadaan.

Tapi kita juga tak bodoh-bodoh amat. Manuver seperti itu sudah terbaca dan publik pun tidak begitu percaya. 

Mari kita jaga suasana kondusif saat ini. Jangan mau diadu domba oleh elit-elit yang tak bertanggung jawab itu.

Fakta, Tak Ada Penghitungan Real Count BPN Prabowo-Sandi di DPP Gerindra, Lantas Dimana Itu Dilakukan?

Fakta, Tak Ada Penghitungan Real Count BPN Prabowo-Sandi di DPP Gerindra, Lantas Dimana Itu Dilakukan?


Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selama ini ditantang untuk terbuka atas klaimnya soal penghitungan real count yang memenangkan pasangan nomor urut 02 itu. Namun hingga kini mereka tak mampu membuktikannya.

Hal itu terlihat dari inkonsistensi pernyataan BPN Prabowo-Sandi itu sendiri. Sebelumnya, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Andre Rosiade mengungkapkan, proses tersebut dipusatkan di DPP Gerindra. 

Namun setelah ditelusuri media, ternyata tak ada penghitungan suara di DPP Gerindra. Kantor itu pun terlihat sangat sepi. 

Seorang petugas di kantor DPP Gerindra menyatakan bahwa tidak pernah ada kegiatan penghitungan real count Prabowo-Sandi di kantor tersebut. Justru menurutnya penghitungan suara itu ada di Kertanegara (rumah Prabowo). 

Fakta ini menunjukkan sisi kebohongan Andre Rosade atas penghitungan real count yang digadang-gadangnya. 

Namun setelah kabar ini mencuat, Andre Rosade pun berkilah lagi. Menurutnya, lokasi penghitungan real count itu berada di lokasi yang tak bisa diakses oleh sembarang orang. 

"Real Count terus dilakukan oleh DPP Partai Gerindra dan BPN, mengenai lokasi tentu kami tempatkan di lokasi yang aman, dan tidak gampang diakses pihak yang tidak berkepentingan," begitu kata Andre

Perkataan yang mencla-mencle itu bukanlah tanpa sebab. Hal tersebut menunjukkan inkonsistensi dan mengarah pada sandiwara atau kebohongan lagi.

Bila memang benar BPN Prabowo-Sandi melakukan penghitungan real count, sehingga berani mengklaim menang 62 persen, maka seharusnya itu tak perlu ditutup-tutupi lagi. Mereka harusnya mau membuka data tersebut. 

Kalau memang benar kenapa takut untuk membuka ke publik? Ya kecuali memang mereka tak punya.

Dengan begitu, sudah tampak jelas kalau kubu 02 itu rela membuat kebohongan hanya demi ambisi berkuasa. Mereka membohongi pendukungnya sendiri agar tetap militan mewacanakan bahwa Prabowo pemenang pilpres 2019. 

Bahkan, pendukungnya pun tak diberi tahu sumber data yang digunakan sebagai landasan bagi Prabowo untuk mengklaim kemenangan tersebut. Pendukungnya hanya dijadikan alat untuk terus menggembor-nggemborkan bahwa Prabowo pemenang Pilpres 2019.

Melihat fakta seperti itu, jadi sebenarnya siapa yang berakal sehat? Bukankah cara berbohong kubu Prabowo-Sandi ini menunjukkan bahwa mereka dungu? Silakan publik menjawabnya.

Klaim Kemenangan Tak Terbukti, Prabowo Bisa Mendekat di Penjara 10 Tahun

Klaim Kemenangan Tak Terbukti, Prabowo Bisa Mendekat di Penjara 10 Tahun


Berani berbuat maka harus berani bertanggung jawab. Pepatah ini masih sangat kontekstual bagi siapapun hingga saat ini. Termasuk bagi Prabowo Subianto. 

Pasalnya, dia bisa diadili bila klaim kemenangannya yang menyebutkan dirinya unggul 62 persen itu ternyata meleset. Apalagi sempat mendeklarasikan diri sebagai Presiden terpilih. 

Hal ini setelah katan Masyarakat Peduli Indonesia melaporkan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto ke Bareskrim Polri, Senin (22/4/2019).

Prabowo dilaporkan karena deklarasi kemenangannya dalam Pilpres 2019 dengan perolehan suara 62 persen hasil hitung cepat timses adalah kebohongan dan memicu keonaran di tengah publik.

Prabowo Subianto harus siap diadili kalau klaim kemenangan tidak terwujud, karena diduga kuat real count Badan Pemenangan Nasional Prabowo – Sandiaga itu tidak benar.

Berdasarkan laporan IMPI di atas, polisi akan mulai menyelidiki kasus Prabowo setelah pengumuman resmi dari KPU dirilis. Menurut UU yang berlaku, Prabowo bisa terancam hukuman 10 tahun penjara sesuai UU Nomor 1 Tahun 1946.

Jadi, Prabowo boleh saja mengklaim dirinya menang sembari menuduh KPU curang, tetapi bila itu tak terbukti, maka dirinya akan mendekam di penjara. Itulah hukuman yang pantas pada tokoh yang suka merusak tatanan bernegara.

Selebihnya, "karma" itu memang sangat pantas diterima Prabowo karena tindakannya itu juga sangat membahayakan bangunan dan keutuhan bangsa Indonesia. Jadi akan sangat sepadan bila dirinya harus dijerat dengan hukum dengan seadil-adilnya.

Prabowo harus siap-siap menerima konsekuensi atas tindakannya sendiri. Jangan lempar tangan lagi.

Dari Tuduh Curang hingga People Power, Waspadai Gejala Awal Prabowo Subianto dkk Rusak NKRI

Dari Tuduh Curang hingga People Power, Waspadai Gejala Awal Prabowo Subianto dkk Rusak NKRI


Pasca Hari-H Pemilihan Presiden 2019, kubu pendukung Prabowo-Sandi bukannya mendinginkan suasana justru semakin gencar memprovokasi masyarakat. Mereka hanya ingin mau menang, tetapi tidak siap kalah.

Tuduhan curang, klaim kemenangan dan agenda people power adalah cara-cara inkonstitusional yang dilakukan kubu 02 untuk mendelegitimasi Pemilu 2019. 

Awalnya, Prabowo Subianto menyebut lembaga survei yang mengunggulkan Jokowi adalah tukang bohong yang sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh rakyat. Ia kemudian mengklaim kemenangan secara sepihak dan mendeklarasikan diri sebagai Presiden terpilih.

Tak lama kemudian, pendukungnya rame-rame menyebutkan Pemilu ini curang. Tanpa bukti yang memadai sekalipun, mereka sangat yakin kalau KPU tidak netral. 

Dan terakhir mereka memprovokasi rakyat untuk tidak mempercayai hasil Pemilu. Tak hanya itu, mereka juga mengajak masyarakat untuk menggalang people power menolak hasil Pemilu. 

Adanya tuduhan kecurangan yang dilontarkan kubu Prabowo yang tidak disertai bukti dan tidak melalui jalur hukum atau proses yang disediakan negara itu menujukkan mereka adalah orang-orang yang hanya haus kekuasaan, bukan berjuang demi rakyat.

Isu kecurangan Pilpres 2019 ini terus dibesar-besarkan kubu Prabowo agar ada legitimasi untuk menyerang negara. Hal tersebut sangat berbahaya dan patut diwaspadai, terutama karena di belakang mereka ada kaum intoleran yang berjubah agama siap menunggangi.

Jika kubu Prabowo tetap bersikeras melakukan cara-cara yang tidak sesuai konstitusi, maka bisa dilihat siapa yang ingin membuat keributan dan menghancurkan Indonesia karena hanya sekedar ambisi kekuasaan. 

Oleh karena itu, masyarakat harus lebih pintar dalam menilai mana ceramah yang menggugah kesadaran dan mana yang sekedar memprovokasi dengan meneriakkan keadilan dan kejujuran. Padahal mereka haus berkuasa dengan menghalalkan segala cara.

Mari kita terus bergandengan tangan untuk menjaga negeri ini dari bahaya perpecahan yang dihadirkan oleh kubu Prabowo Cs ini. Jangan mau diadu domba dan turut dalam gerakan-gerakan yang mengarah pada jalur inkonstitusional, seperti people power.

Tidak Bisa Pulang ke Indonesia, Habib Rizieq Ungkapkan Kekecewaan ke Prabowo

Tidak Bisa Pulang ke Indonesia, Habib Rizieq Ungkapkan Kekecewaan ke Prabowo


Pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab kembali muncul di kanal Youtube Front TV pada Senin (22/4/2019).

Kemunculan Habib Rizieq Shihab tersebut tak lain ingin menyampaikan sebuah pesan kepada calon presiden (Capres) nomor urut 02, Prabowo Subianto. 

Dalam video tersebut, Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab mengungkapkan kekecewaannya pada Prabowo.

Ia mengaku kecewa kepada capres nomor urut 02 itu karena usulan people power darinya ditolak. Menurutnya inilah momentum bagi Prabowo untuk merebut kekuasaan itu.

Namun bila ditelaah dengan seksama, kekecewaan Rizieq Syihab kepada Prabowo itu sebenarnya bukan karena Prabowo menolak usulan people power, namun karena kekalahan Prabowo menghambat rencana kepulangan Rizieq Shihab. 

Sekarang sudah jelas bahwa Prabowo tidak akan bisa memenuhi janjinya memulangkan Rizieq Shihab dari Arab Saudi. Karena menurut perhitungan resmi sementara ini dirinya kalah.

Logikanya, kekalahan Prabowo ini akan membuat Rizieq Shihab akan semakin lama tinggal di Arab Saudi. 

Padahal jika Habib Rizieq Shihab ingin pulang ke Indonesia, tidak ada yang melarang, bahkan pemerintah pun pasti mau membantu kepulangannya. Namun soal kasus hukum itu akan menjadi urusan pribadinya.

Pengakuan Habib Rizieq Shihab tentang kekecewaan terhadap Prabowo lantaran tidak menuruti usulan people power itu sebenarnya hanyalah siasat untuk menarik simpati agar seolah-olah Prabowo adalah sosok yang taat dan tunduk terhadap aturan. Padahal, kenyataannya belum tentu demikian. 

Kita bisa membaca kepentingan mendasar Habib Rizieq Shihab di atas. Jadi jangan mudah menipu kami. 

Kita berharap people power seperti yang diagendakan oleh kubu Prabowo-Sandi. Karena bila itu benar-benar terjadi akan merusak sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia. 

Publik pastinya akan terus lawan agenda-agenda inkonstitusional seperti itu. Tentu bersama-sama dengan aparat negara yang berwenang.

Wednesday, 24 April 2019

Bohongi Publik, Farhat Abbas Akan Laporkan Prabowo Subianto ke Polisi

Bohongi Publik, Farhat Abbas Akan Laporkan Prabowo Subianto ke Polisi


Kebohongan publik sepertinya menjadi senjata andalan kubu Prabowo-Sandi untuk memenangkan Pilpres 2019. Berkali-kali kabar bohong itu disebarluaskan ke publik dengan tujuan politis. 

Terakhir, Prabowo mengklaim kemenangan Pilpres 2019. Bahkan dirinya menyatakan akan segera dilantik dengan kemenangan hingga 62 persen. 

Padahal kita tahu, menurut perhitungan cepat (quick count) dan real count KPU, Jokowi-Maruf Amin sementara ini masih unggul. 

Dengan kelakuan seperti itu, Anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Farhat Abbas, berencana melaporkan capres Prabowo Subianto karena telah mengklaim menang Pilpres 2019 dengan perolehan suara sekitar 62 persen.

Farhat menilai, pernyataan atau pidato Prabowo yang mengklaim kemenangannya termasuk kategori berita bohong. Demikian disampaikan Farhat ditemui di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (23/4/2019).

Menurutnya, penyataan Prabowo yang menyatakan kemenangannya dan menuding lembaga survei bohong adalah upaya penggiringan opini publik. Hal itu tentu saja merugikan lawan politiknya, Jokowi-Maruf Amin. 

Selain itu, upaya tersebut juga berpotensi menimbulkan kericuhan di masyarakat. Mengingat BPN Prabowo-Sandi berencana akan menggalang people power jika hasil Pemilu tidak sesuai dengan klaim mereka.

Terlepas dari laporan tersebut, kelakuan kubu Prabowo-Sandi di atas sangat kekanak-kanakan. Mereka hanya mau menang sendiri, tetapi tidak siap kalah.

Masyarakat akan sangat mendukung pelaporan ini. Agar kehidupan rakyat Indonesia tidak terus menerus diajak ke arah konflik horizontal. Penegakan hukum akan menjadi pelajaran agar para elit tidak mudah menyebarkan kabar bohong hanya karena kepentingan politiknya saja. 

Mari luruskan akal sehat kita.

Saturday, 20 April 2019

Delusi Massal, Prabowo Subianto Dipanggil Presiden oleh Pendukungnya

Delusi Massal, Prabowo Subianto Dipanggil Presiden oleh Pendukungnya


Delusi Prabowo Subianto semakin menjadi-jadi. Setelah mengklaim sepihak dirinya sebagai pemenang Pemilu 2019, Ia juga mempraktikan gaya hidup bak Presiden. 

Hal itu, misalnya, terlihat saat Persatuan Purnawirawan Indonesia Raya (PPIR) bertamu ke kediaman pribadinya, Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis petang (18/4).

Dalam momen tersebut, para Purnawirawan berbaris siaga. Sebelum masuk ke rumah Prabowo, mereka terlebih dahulu memberi hormat seraya menyampaikan beberapa perkataan. 

Ada yang menyelamati Prabowo sebagai presiden, ada yang menyatakan siap presiden. 

"Siap Presiden." "Selamat, Pak Presiden." "Dirgahayu, Komando." 

Sebagian mereka memekikkan kata-kata tersebut sebelum berjabat tangan dengan Prabowo. 

Menerima penghormatan itu, Prabowo pun membalasnya dengan gerakan hormat. Prabowo yang didampingi Koordinator Juru Bicara BPN, Dahnil Anzar Simanjuntak pun terlihat tersenyum senang. 

Itulah kelakuan calon presiden yang mengaku pemenang Pemilu, padahal hasil resmi KPU belum diumumkan. Bukankah itu adalah delusi yang nyata? 

Delusi adalah jenis gangguan mental, di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi. Sehingga ia meyakini dan bersikap sesuai dengan hal yang ia pikirkan. 

Penderita gangguan delusi meyakini hal-hal yang tidak nyata atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Walau sudah terbukti bahwa apa yang diyakini penderita berbeda dengan kenyataan, penderita tetap berpegang teguh pada pemikirannya.

Deskripsi tersebut mirip dengan yang dialami Prabowo. 

Betapa memalukannya tindakan Prabowo agar memperoleh penghormatan sebagai presiden dan melibatkan purnawiran TNI. 

Ia tidak mampu menerima kenyataan jika dirinya selalu kalah, sehingga bertindak gila untuk mengklaim kemenangannya sendiri. Kasihan Prabowo. 

Tapi tak apalah, biar ia merasakan rasanya dihormati seperti presiden sungguhan. Karena toh setelah pengumuman resmi KPU, yang dilantik menjadi presiden bukan dia.

"SIap, Pak Presiden!" tapi bohongan.

Ada Gelagat Jahat, SBY Berikan 2 Instruksi ke Kader Demokrat

Ada Gelagat Jahat, SBY Berikan 2 Instruksi ke Kader Demokrat


Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) menginstruksikan kader dan pengurus partainya tidak ikut serta dalam kegiatan bertentangan dengan Undang-undang dan konstitusi. 

Instruksi itu dikeluarkan setelah proses pemungutan suara Pemilu 2019, Rabu (17/4) kemarin.

Selain meminta tak terlibat dalam kegiatan inkonstitusional, SBY mengingatkan kader dan pengurus Partai Demokrat terus memantau situasi tanah air setelah pencoblosan. Serta, melaporkan jika melihat situasi menjurus ke arah konflik dan krisis yang membahayakan.

Dalam instruksi lain, SBY juga meminta kader Demokrat untuk pindah kantor dari BPN Prabowo-Sandi. Perintah ini sama artinya dengan menarik pasukan dari tim pemenangan Prabowo-Sandi.

Dua instruksi SBY di atas telah dibenarkan oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin. 

Surat perintah dari SBY tersebut ditujukan kepada beberapa petinggi PD termasuk Sekjen selaku Pelaksana Tugas Harian Hinca Panjaitan, Wakil Ketua Syarief Hasan, juga ditembuskan kepada Komandan Komando Tugas Bersama (Dankogasma) Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY.

Tindakan SBY tersebut bukan tanpa sebab. Kemungkinan besar SBY membaca gelagat jahat dibalik klaim kemenangan Prabowo, sehingga menyerukan kepada seluruh pimpinan maupun kader Partai Demokrat menghentikan sementara dinas di BPN Prabowo-Sandi dan segera kembali untuk melakukan konsolidasi.

Hal itu pantas dilakukan mengingat dalam dua hari terakhir seruan melakukan people power sempat muncul. Penasihat PA 212 Eggi Sudjana, misalnya, mengatakan soal people power di Kertanegara, markas kubu Prabowo. 

Hal itu juga diikuti dengan deklarasi kemenangan sepihak oleh Prabowo-Sandi. Serta, diikuti dengan tuduhan Pemilu curang bila KPU tak merilis hasil yang sama dengan data kubu 02. 

Itulah latar belakang dua instruksi SBY kepada kader Demokrat di atas. 

Sebagai seorang yang tumbuh dari dinas militer, SBY pasti telah mendapatkan informasi-informasi mengenai arah gerakan Prabowo cs. Karenanya dia menginstruksikan kader-kader Demokrat agar tidak ikut ke barisan mereka. 

Langkah kenegawaranan SBY ini patut diapresiasi. Setiap elite politik harusnya menahan diri saat ini, agar tidak terjadi kekacauan negara pasca Pemilu. 

Bangsa Indonesia jangan sampai terpecah belah hanya karena kepentingan segelintir orang yang mengaku menang dan memaksakan kehendak seperti Prabowo dkk, ini.

Klaim Kemenangan Sepihak, Prabowo-Sandi Telah Mengarah ke Kudeta!

Klaim Kemenangan Sepihak, Prabowo-Sandi Telah Mengarah ke Kudeta!


Calon presiden 02 Prabowo Subianto kembali mendeklarasikan kemenangannya dalam Pilpres 2019. Deklarasi itu bahkan diulanginya hingga tiga kali. 

"Pada hari ini saya Prabowo Subianto menyatakan bahwa saya dan saudara Sandiaga Salahudin Uno mendeklarasikan kemenangan sebagai presiden dan wakil presiden tahun 2019-2024," tutur Prabowo Subianto di Kertanegara, Jakarta, Kamis (18/4/2019).

Sebelumnya, Prabowo juga sudah menggelar aksi sujud syukur  di tempat yang sama, Rabu (17/4/2019) malam. Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa di Pilpres 2014 lalu. 

Prabowo menyatakan keyakinannya menang sebagai presiden berdasarkan perhitungan internal pihaknya yang menyebut mendapatkan suara lebih dari 62 persen. Hal itu berdasarkan perhitungan real count kubu 02.

Aksi klaim kemenangan sepihak dari Prabowo ini bukanlah lelucon. Ini membawa konsekuensi yang panjang dalam politik Indonesia pasca Pilpres. 

Sebab, klaim kemenangan Prabowo ini sudah merupakan kudeta terhadap KPU. Ia secara tidak langsung telah mengambil alih tugas KPU dalam menghitung, mengumumkan dan menetapkan pasangan Capres-Cawapres sebagai pemenang Pemilu 2019.

Padahal, perhitungan resmi saat ini sedang dilakukan. Pengumuman hasilnya pun masih sebulan lagi. 

Deklarasi kemenangan Prabowo-Sandi itu juga bukan tanpa konteks. Prabowo-Sandi ingin menggiring opini bahwa mereka menang sedini mungkin, lantas bila hasil resmi KPU tidak sesuai, maka kubu 02 itu memiliki alasan untuk menuduh KPU curang. 

Apapun hasil yang nanti diumumkan oleh KPU, bagi Prabowo dan komplotannya sudah tidak penting lagi karena mereka sudah menang berdasarkan real count dan sudah menjadi Presiden. 

Ujung-ujungnya, KPU akan dianggap curang sesuai dengan narasi yang dibangun selama ini menggunakan hoaks dan drama

Ini adalah bagian dari taktik delegitimasi Pemilu 2019. Dan, inilah yang harus diwaspadai bersama. 

Prabowo-Sandi sedang mengarahkan pendukungnya tidak mempercayai hasil Pemilu ini. Karena hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan kalah dari hasil resmi KPU nanti.

Kita harus membaca gelagat ini, agar upaya kudeta dan memaksakan kehendak oleh Prabowo dkk dapat dicegah. Mereka itu adalah gerombolan "pemberontak" yang ingin menang sendiri.

Kisah Prabowo-Sandi Sang Penjahat Demokrasi dan Pengkhianat Bangsa

Kisah Prabowo-Sandi Sang Penjahat Demokrasi dan Pengkhianat Bangsa


Berdemokrasi esensinya adalah siap menang dan kalah dalam kontestasi politik. Ia harus terima bila dipilih rakyat, dan/atau, tidak menjadi pilihan rakyat. Di sini, mayoritas suara rakyat adalah penentunya. 

Namun belakangan ini, banyak elit politik Indonesia yang tak paham dengan aturan dasar ini. Lihat saja, Prabowo-Sandi tiba-tiba mengumumkan kemenangannya pada Pilpres 2019, padahal hasil resminya belum dirilis oleh KPU. 

Parahnya, deklarasi kemenangan itu diikuti dengan "ancaman" bahwa bila ada perbedaan angka antara Prabowo dan hasil resmi KPU, maka lembaga penyelenggara Pemilu tersebut dituduh curang. Logika semacam apa ini? 

Deklarasi Prabowo-Sandi atas klaim kemenangan secara sepihak itu telah membuktikan bahwa keduanya menjadi bagian dari perlawanan dan pengkhianat demokrasi. Mereka siap menang, tetapi tak mau kalah. Maunya menang terus. Ini yang berbahaya.

Mereka dengan angkuh dan sombongnya mengklaim kemenangan berdasarkan real count. Padahal yang punya otoritas untuk menghitung dan mengumumkan real count itu hanyalah KPU. 

Prabowo Sandi sebagai dua orang elite parpol Gerindra itu sedang berjuang keras melakukan segala cara untuk menang dan mengambil alih kekuasaan. Bahkan berencana akan melakukan "people power", bukankah ini sungguh keblinger? 

Dalam situasi seperti ini, kita harus mendukung KPU dari rongrongan kubu oposisi. Diakui atau tidak, KPU adalah lembaga negara yang posisinya sangat krusial saat ini. Sebab dari proses yang dikerjakan lembaga itulah negara ini akan melahirkan sosok pemimpin baru bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Siapa pun yang mencundangi KPU dari proses kerja yang dilakukan itu, sama artinya mencederai bahkan meruntuhkan kedaulatan NKRI. 

Rakyat Indonesia pasti akan melawan watak otoriter Prabowo, dkk yang inginnya menang sendiri tersebut. Jangan sampai NKRI bubar dan pecah, hanya karena kepentingan segelintir orang yang mabuk kekuasaan tersebut. 

Bila mereka akan menggelar people power saat kalah, kita bangsa Indonesia siap mati untuk menjaga keutuhan negara. Kamu bagaimana?
Sandiaga Lesu dan Tak Bergairah, Begini Kata Pakar Bahasa Tubuh

Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno akhirnya muncul di hadapan publik. Ia mendampingi calon presiden Prabowo Subianto saat konferensi pers deklarasi kemenangan Pilpres 2019 di Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (18/4). 

Mengenakan polo shirt biru dan celana khaki, Sandiaga Uno dinilai tampil di luar kebiasaannya. Ia terlihat lesu dan tidak bersemangat. 

Hal ini sempat menarik perhatian para ahli bahasa tubuh dan mikroekspresi. Menurut pakar bahasa tubuh dan mikroekspresi, Monica Kumalasari, penampilan Sandi ini sudah keluar dari baseline-nya, yaitu smile dalam berkomunikasi, santai, gesture sangat natural dan spontan. 

Selama konferensi pers itu Sandi justru menampilkan ekspresi sedih, marah, dan takut. Gesture tubuhnya juga sangat berbeda, dengan tangan di belakang. Ini menandakan kekhawatiran dan biasanya ekspresi dari "manut".

Dalam konferensi pers itu Sandiaga juga terlihat cukup lama menatap skrip pidato Prabowo. Saat Prabowo menyebut UUD 1945, Sandiaga mulai batuk dengan menutup mulut atau buang muka ke samping kiri.

Adegan tersebut diikuti dengan Sandiaga mulai menatap ke audiens dan menyapu audiens saat Prabowo berbicara tentang partai-partai.

Yang jelas, Sandiaga Uno dalam tekanan berat. Tekanan atas apa? Kemungkinan karena otoritas Prabowo, bisa karena tekanan pihak luar yang terlibat dalam pendanaan ajang Pilpres, bisa juga karena shock hasil quickcount.

Senada dengan Monica, pakar Ekspresi Handoko Gani juga memiliki kesimpulan yang sama. Ekspresi yang ditunjukkan Sandiaga itu adalah ekspresi ketidaksukaan, bukan karena sakit. Jika Sandiaga sedang sakit, maka ada tanda-tanda lain yang terlihat pada anggota tubuhnya. 

Sandi memang terlihat batuk dan menutup mulutnya dengan lengan, namun jika hanya batuk, maka wajahnya tidak sampai kucel seperti itu. 

Indikasi ketidaksukaan terhadap sesuatu lainnya juga terlihat pada sikap Sandiaga saat Prabowo dan orang-orang di sekitarnya mengangkat dan mengepalkan tangan di atas kepala. Sedangkan, Sandiaga terlihat hanya mengangkat tangan setinggi dada.

Sandiaga selama ini terkenal sangat rasional, sehingga dia tahu hasil quick count itu valid dan benar. Sehingga mungkin Sandi ingin bersikap realistis, dengan mengakui quick count tersebut, tetapi ditekan Prabowo. 

Ia juga memiliki keinginan untuk tidak mau terlibat deklarasi, tetapi harus dipaksa. Begitulah cerita deklarasi semu dan pura-pura