Logika dan Konteks di Balik Kebijakan Impor, Mari Bicara Data
Belakangan ini, kebijakan impor pemerintahan Presiden Jokowi menjadi sorotan pihak oposisi. Kebijakan ini dijadikan dalih bahwa pemerintahan Jokowi tak pro-petani dan rakyat kecil.
Bahkan, dengan beraninya Prabowo Subiyanto menyatakan tak akan impor apapun jikalau dirinya menjadi Presiden RI nanti. Hal ini dinilai tak rasional mengingat skema impor sebagaimana ekspor adalah hal yang wajar dalam dunia perdagangan internasional.
Seringkali pihak tertentu mendiskreditkan kebijakan impor tanpa tahu logika dan konteksnya dalam dunia nyata. Padahal, selalu ada konteks dibalik setiap kebijakan. Ini yang mereka abaikan ketika berbicara kebijakan impor. Inilah gunanya kita memahami data dan berbicara atasnya.
Terkait kondisi impor saat ini, bahwa dari kelompok migas, kenaikan disumbang oleh peningkatan impor minyak mentah sebesar 51,58%. Sedangkan untuk hasil minyak dan gas mengalami penurunan impor masing-masing sebesar 4,11% dan 3,65%.
Sedangkan dari kelompok non migas, tekanan impor berasal dari 10 golongan barang yang berkontribusi terhadap total impor non migas sebesar 4,3%. Pertumbuhan impor 10 golongan barang ini sebesar 31,4% dari tahun sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan barang lain dari luar 10 golongan tersebut sebesar 22,4%.
Terdapat 10 golongan komoditas yang menyebabkan impor naik, yaitu: 1.) Mesin dan pesawat mekanik; 2.) Mesin dan peralatan listrik; 3.) Besi dan baja; 4.) Serealia; 5.) Ampas/ sisa industri makanan; 6.) Karet dan barang dari karet; 7.) Bubur kayu/pulp; 8.) Kapal terbang dan bagiannya; 9.) Bahan bakar mineral; 10.) Kapal laut dan bangunan terapung.
Diantara 10 barang tersebut hanya 3 barang yang memiliki total andil mencapai 36% yaitu mesin dan pesawat mekanik, mesin dan peralatan listrik, serta besi dan baja. Ketiga barang tersebut juga tumbuh tinggi masing-masing 29,2%; 29,15%; dan 48,5%.
Kemudian terkait bahan pangan, terjadi peningkatan impor menjelang ramadhan lalu. Keterbatasan supply dan pergeseran panen di tengah meningkatnya permintaan menjadi penyebabnya. Tercatat impor golongan serelia tumbuh 28,08% periode Januari - April terbesar adalah impor beras yang naik 153%.
Di samping itu, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan bahwa rata-rata 75% komponen impor adalah golongan bahan baku penolong. Artinya, Indonesia masih mengimpor bahan baku dari negara lain untuk diolah menjadi barang jadi.
Terkait dengan infrastruktur, impor bahan material seperti besi dan baja meningkat sangat signifikan yaitu 29,21% dari tahun 2016 ke 2017 dan 32,64% dari tahun 2017 hingga Juni 2018. Proporsi impor bahan baku akan diprediksi akan tetap naik dalam rangka membangun infrastruktur Indonesia.
Kemudian, adanya impor beras itu tak selamanya buruk. Impor beras tahun ini bertujuan untuk memenuhi kekurangan stok di pasar. Meski demikian, perlu dicermati bahwa trend impor bahan pangan menurun.
Pada tahun 2016, pemerintah impor 27,33 juta ton untuk tujuh komoditas pangan meliputi beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, daging sapi dan kerbau. Namun tren tersebut menurun di tahun 2017 menjadi 24,68 ton dan sampai Juli 2018 Indonesia masih impor 9,48 juta ton.
Ini adalah fakta mengenai kebijakan impor saat ini. Dengan memahami data kita akan tahu bahwa impor yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi hanya untuk memenuhi kebutuhan komoditas yang belum diproduksi atau produksinya tidak mencukupi di dalam negeri.
Impor itu diperlukan agar harga komoditas tidak melonjak tinggi, sehingga masyarakat tak merasa keberatan. Di balik tujuan impor pun ada tujuan mulia demi kebaikan masyarakat.
No comments:
Post a Comment