Gelombang Depresiasi Global dan Usaha Pemerintah untuk Mengatasinya
Kondisi perekonomian dunia tidak sedang baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi masih lambat, kemudian diikuti dengan depresiasi sejumlah mata uang. Dalam hal ini, Rupiah tak terkecuali.
Meski demikian, depresiasi nilai Rupiah hingga Rp 15.000 per USD tidak datang secara tiba-tiba. Itu terjadi secara bertahap dan lebih disebabkan oleh faktor eksternal.
Di tengah situasi seperti ini, salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menjaga persepsi investor terhadap ekonomi nasional adalah dengan mewartakan berita-berita positif. Ini yang harusnya bisa dikerjakan oleh seluruh insan Indonesia.
Perlu diketahui oleh semuanya, depresiasi nilai mata uang tak hanya di Indonesia saja, hampir semua negara Asia juga turut terdepreasiasi, bahkan lebih tinggi dari Indonesia.
Data Bloomberg per 16 Oktober September 2018 menunjukan 10 mata uang negara yang mengalami depresiasi. Dua mata uang yang mengalami depresiasi terbesar adalah Peso Argentina sebesar minus 49,5%, dan Lira Turki sebesar minus 34,9 %.
Selain terhadap dua mata uang tersebut, Dollar AS juga menguat terhadap mata uang Rupee India yang terdepresiasi minus 13,6 %, dan Real Brazil terdepresiasi sebesar minus 12,4 %.
Rubel Rusia pun juga ikut terdepresiasi sebesar minus 12%. Sedangkan, Rupiah masih bisa bertahan terhadap depresiasi sebesar minus 11,1%.
Depresiasi rupiah itu masih masuk dalam kategori moderat di antara negara-negara berkembang lainnya sepanjang awal tahun hingga Oktober 2018.
Depresiasi Rupiah saat ini dapat dipastikan tidak akan menyebabkan ancaman krisis seperti tahun 1998. Hal tersebut karena ekonomi masih tumbuh di atas 5 % dan inflasi tidak lebih dari 4 %.
Indikator sektor perbankan juga sangat sehat. CAR atau risiko kecukupan modal perbankan bergerak di atas 22%; dari level minimal 8%. Risiko penyaluran kredit masih rendah, hanya 2,67% pada Juni 2018, dari level maksimal 5%.
Meski demikian, depresiasi nilai Rupiah itu akan membawa dua dampak, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek yaitu naiknya harga-harga barang impor, kondisi keuangan perusahaan yang tidak melakukan 'hedging' (lindung nilai) negatif.
Sedangkan untuk jangka panjang, yaitu dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, menggerus daya beli masyarakat, dan potensi krisis.
Hingga kini pemerintah terus berupaya mengatasi depresiasi ini. Diantaranya dilakukan dengan menetapkan PPh pada beberapa komoditas impor, serta penggunaan Biodiesel sebagai upaya menghemat BBM.
Selain itu, Bank Indonesia mengelola Rupiah lewat intervensi di pasar uang, maupun lewat kenaikan suku bunga. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan tidak ada krisis likuiditas di sektor keuangan, bukan hanya pada bank besar tetapi juga bank kecil.
Di tengah situasi seperti ini, kita harus bergandengan tangan untuk menghadapi masalah nasional sebagai permasalahan bersama. Jangan pandang isu ini secara politis, karena siapapun pemerintahannya pasti akan terdampak.
No comments:
Post a Comment