Thursday, 30 May 2019

Penyebar Fitnah dan Hoax Pantas Dihukum, Bukan Malah Dibela

Penyebar Fitnah dan Hoax Pantas Dihukum, Bukan Malah Dibela


Selama ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo dikabarkan tidak demokratis. Indikatornya karena banyak orang ditangkap polisi saat menyampaikan pendapat.

Tudingan itu banyak disematkan oleh para pendukung Prabowo-Sandi. Tapi benarkah demikian?

Tentu saja, jawabannya tidak. Pasalnya, penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap sejumlah pihak belakangan ini adalah semata-mata demi menjalankan perintah undang-undang.

Siapapun yang melakukan fitnah, menyebar hoaks, menghasut dan berujar kebencian, akan ditindak oleh polisi. Dan, itu bukanlah bentuk dari kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Oleh karenanya, proses hukum oleh kepolisian hendaknya tidak dipolitisir sedemikian rupa, sehingga menimbulkan persepsi seolah-olah pemerintah atau Presiden Jokowi antikritik.

Masalahnya, politisasi yang dilakukan Gerindra dan kubu 02 itu jelas-jelas berniat mengaburkan pandangan masyarakat terhadap apa yang melanggar hukum dan tidak.

Seolah-olah hoaks, fitnah dan penghasutan yang dilakukan pihaknya hanyalah sebatas kritik. Padahal yang sebenarnya mereka lakukan diduga kuat melanggar hukum, sehingga polisi menindaknya.

Untuk itu, kita seharusnya memang bisa membedakan antara mengkritik, memfitnah, menyebar hoaks kebohongan, menghasut dan mengujarkan kebencian.

Mengkritik jelas tidak melanggar hukum, sementara memfitnah, menyebar hoaks, menghasut dan mengujarkan kebencian adalah pelanggaran hukum. Hal itu sudah diatur dalam KUHP, UU ITE, serta UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Perlu diketahui, dua UU terakhir juga disetujui oleh Fraksi Gerindra yang belakangan kerap memprotes penegakan hukum atas UU tersebut. Sekarang Gerindra punya kader-kader di DPR, jadi kalau partai besutan Prabowo itu ingin masyarakat bebas memfitnah, menyebar hoaks dan menghasut, silakan ubah UU-nya dulu.


Misalnya saja Eggi Sudjana yang kedapatan menghasut para pendukung 02 untuk melakukan keonaran dan menabrak ketentuan-ketentuan hukum.

Kemudian Mustofa Nahrawardaya yang ditangkap setelah sekian banyak menyebar hoaks yang memicu keonaran masyarakat.

Mereka itu jelas telah melanggar hukum. Karenanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang telah diterangkan di atas. Jangan justru dibela karena dianggap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ingat, kebebasan itu pun ada batasnya.

Kita sebaiknya bisa cerdas menilai informasi yang beredar belakangan ini. Jangan termakan wacana seolah pemerintah otoriter karena menangkap para penyebar fitnah dan hoaks.

Bohong Besar, Isu Mobilisasi ASN dan Pegawai BUMN Menangkan Jokowi Tak Terbukti

Bohong Besar, Isu Mobilisasi ASN dan Pegawai BUMN Menangkan Jokowi Tak Terbukti


Kubu Prabowo-Sandi terus menerus memfitnah dan menyebarkan kabar bohong (hoax) bahwa Jokowi memobilisasi aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai BUMN untuk memenangkan dirinya. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Menurut survei internal TKN Jokowi-Maruf Amin, sebagian besar ASN justru menjadi pemilih Prabowo-Sandi. Menurut survei itu, setidaknya terdapat 72 persen ASN yang justru memilih pasangan 02.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Kampanye TKN, Benny Rhamdani, Rabu (29/5/2019).

Dengan kenyataan seperti itu, maka isu Jokowi memobilisasi ASN merupakan kebohongan besar yang sengaja diciptakan kubu lawan.

Logikanya, bila Jokowi memobilisasi ASN, maka Paslon 01 akan meraup banyak suara dari para abdi negara, tetapi faktanya tidak. Dengan demikian, sebenarnya Jokowi tidak menjadikan ASN sebagai mesin politik seperti zaman Orba.

Temuan senada juga berlaku untuk pegawai BUMN. Menurut survei internal TKN, sekitar 78 persen pegawai BUMN justru memilih pasangan calon 02 Prabowo-Sandi.

Hal ini semakin menegaskan bahwa Jokowi tidak memobilisasi pegawai BUMN sebagaimana yang dituduhkan oleh kubu Prabowo-Sandi.

Kubu Prabowo-Sandi memang sejak awal sengaja menciptakan framing bahwa pemilu berjalan dengan curang. Hal itu sengaja dipakai sebagai "kata sakti" karena mereka sulit mengalahkan Jokowi.

Oleh karena itu, kita sebaiknya tak perlu percaya dengan segala informasi bahwa Jokowi melakukan kecurangan atau mengerahkan ASN dan pegawai BUMN untuk memenangkan dirinya. Berdasarkan kenyataan, hal itu tidak benar dan hanya isu yang dibuat oleh kubu Prabowo-Sandi.

Kerja Keras Polisi Berhasil, 6 Tersangka Perencana Pembunuhan Jenderal Diamankan

Kerja Keras Polisi Berhasil, 6 Tersangka Perencana Pembunuhan Jenderal Diamankan


Kerja keras pihak kepolisian membongkar dalang-dalang kerusuhan 22 Mei sedikit demi sedikit telah membuahkan hasil. Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka jual beli senjata api (senpi) ilegal.

Keenam pelaku, yakni, HK, AZ, IR, TJ, AD, semuanya laki-laki dan terakhir AF seorang perempuan.

Hasil penyidikan, mereka berniat membunuh tokoh nasional dan pimpinan lembaga survei. Mereka berbeda dengan kelompok penyusup lainnya.

Dari penelusuran pihak Kepolisian, untuk membeli senpi ilegal para tersangka menghabiskan dana Rp 150 juta. Ternyata ini dikonversikan dari dolar Singapura.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Karopenmas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan, enam tersangka ada aktor intelektualnya yang mendesain. Kemudian ada pendananya juga yang memberikan dana dalam bentuk dolar Singapura.

Dari keenam tersangka itu ada aktor intelektualnya yang mendesain semua itu. Orang itulah yang mendanai rencana penembakan. Semua dana dalam bentuk cash dollar Singapura.

Untuk jatah pimpinan kerusuhan 22 Mei mendapat uang sebesar Rp 150 juta, pembunuh bayaran atau eksekutor Rp 55 juta, dan pemasok senjata api (senpi) Rp 50 juta.

Adapun senpi yang beredar di tengah kerusuhan 22 Mei sengaja digunakan untuk membuat kekaucauan dan mencari martir agar ketika jatuh korban, aparat kepolisian yang disalahkan.

Polisi menegaskan dana tersebut bukanlah honor mereka. Setelah melakukan eksekusi pembunuhan baru akan diberikan honornya, yang kini masih didalami berapa nilai upahnya jika berhasil mengesekusi.

Dengan demikian, mereka direkrut untuk tujuan pembunuhan sejumlah jenderal dan pemimpin lembaga survei.

Polisi mengakui bahwa pemberi dana ini adalah papan atas, lantaran bisa memberikan dana dalam bentuk dolar Singapura. Di bawah pemberi dana ada otak intelektualnya, dan koordinator lapangan. Koordinator lapangan dia mencari senjata, mencari eksekutor, dia memetakan dimana tempat eksekusinya.

Kita bersykur pihak kepolisian segera bertindak cepat sehingga menangkap para pelaku. Seandainya itu terlambat, entah akan seperti apa negeri kita ini. Terus dukung kepolisian untuk menguak kasus ini, hingga bisa menangkap otak intelektual dan para pendananya.

Menguak Siapa Sosok AF, Salah Satu Tersangka Kerusuhan 22 Mei

Menguak Siapa Sosok AF, Salah Satu Tersangka Kerusuhan 22 Mei


Polisi sudah menetapkan 6 tersangka kasus senjata api ilegal untuk yang diduga selaku pembunuh bayaran kerusuhan aksi 22 Mei 2019. Salah satunya seorang perempuan berinisial AF, istri purnawirawan dan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Lantas siapa, AF itu?

AF punya nama lengkap Asmaizulfi, atau dipanggil Fifi. Ia adalah istri dari Mayjen (Purn.) Moerwanto Soeprapto yang pernah menjadi ketua Yayasan Citra Handadari Utama.

Sementara itu, Fifi merupakan Ketua Umum Gerakan Emak-Emak Peduli Rakyat (Gempur) yang aktif berdemonstrasi mengkritik pemerintahan Jokowi.

Fifi diciduk polisi lantaran menjual senjata api untuk komplotan yang berniat membunuh sejumlah tokoh dan memicu aksi 22 Mei. Fifi ini merupakan satu-satunya emak-emak yang diciduk kepolisian.

Gempur ini resmi berdiri pada 16 November 2018 dan Jalan Rawa Badak Barat No. 2 Koja, Jakarta Utara. Beberapa sosok pengawas dari organisasi tersebut adalah mantan ketua umum Front Pembela Islam, Habib Muchsin Alattas dan Japto Soejarsoemarno, tokoh Pemuda Pancasila.

Belakangan, Gempur menjadi organ politis yang bertujuan untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tugasnya, untuk mengampanyekan paslon 02 dari pintu ke pintu, khusus wilayah Jakarta.

Sedangkan, suaminya adalah Mayor Jenderal (Purn) Moerwanto Soeprapto. Ia menjadi Ketua Yayasan Citra Handadari Utama, yang pernah menjabat Sekjen Departemen Sosial masa Orde Baru.

Yayasan ini pernah bersengketa dengan Kementerian Sosial atas kepemilikan lahan seluas 0,8 hektare dan pengelolaan Gedung Cawang Kencana di Jakarta Timur.

Fakta ini menjadi bukti bahwa pendukung Prabowo-Sandi berada di balik kerusuhan 22 Mei kemarin. Mereka itulah yang menggalang massa, menciptakan kerusuhan dan berencana membunuh para jenderal.

Gerombolan 02 itu berusaha mengacaukan situasi negara hanya demi kekuasaan dengan cara apapun dan mengorbankan rakyat sebagai tumbal politik. Tindakannya jelas tak bisa dibenarkan dan harus segera diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Untung saja, aparat keamanan segera bergerak cepat, sehingga potensi bahaya dapat diminimalisasi. Selain itu, para pelakunya juga bisa ditangkap.

Kita berharap para pelaku di atas bisa ditindak dengan adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Bagi pihak keamanan, jangan pernah takut, karena rakyat tetap berdiri di belakang untuk mendukungmu.

Mempertayakan Cuti Bambang Widjojanto dari TGUPP DKI Jakarta, Masih Makan Gaji Buta?

Mempertayakan Cuti Bambang Widjojanto dari TGUPP DKI Jakarta, Masih Makan Gaji Buta?


Anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Bambang Widjojanto didapuk menjadi Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi dalam menggugat hasil Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ditunjuknya BW tersebut, tentu saja, menjadi polemik publik. Pasalnya, mantan komisioner KPK itu sekarang 'double' jabatan. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan bias kepentingan.

BW yang juga mendapat gaji dari APBD DKI dikhawatirkan mempengaruhi kinerja karena tumpang tindih dengan pekerjaannya sebagai tim hukum BPN.

Meski telah mengajukan cuti dari TGUPP DKI, tetapi kasus itu masih menjadi sorotan. Salah satunya dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Salah satu yang disoroti mengenai status cuti BW. Kalau BW mengambil cuti di luar tanggungan, maka itu sah-sah saja dilakukan. Tapi bila hanya cuti, maka BW tetap mendapat upah sebagai anggota TGUPP yang berasal dari APBD. Bila itu terjadi, dimana etika BW sebagai pejabat publik?

Ketika BW telah menjadi anggota TGUPP berdasarkan surat keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta, dan berkomitmen kerja penuh di sana, maka BW seharusnya tidak bisa menjadi kuasa hukum pasangan calon nomor urut 02 tersebut.

Mengingat, hal itu berkaitan dengan etika pejabat publik. Harusnya mantan aktivis yang sudah kawakan seperti BW ini paham mengenai masalah ini.

Mungkin karena dia lagu butuh "modal" banyak, sehingga harus double jobs. Tentu saja, agar dapurnya tetap ngebul, apapun ditabrak meski tidak sesuai dengan etika publik.

Wednesday, 29 May 2019

Pemilu Lebih Transparan, Bawaslu Bantah Pernyataan Bambang Wijdojanto

Pemilu Lebih Transparan, Bawaslu Bantah Pernyataan Bambang Wijdojanto


Beberapa waktu lalu, Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto menyebut bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini tentu saja tidak benar karena apa yang dinyatakan BW itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Bantahan itu datang dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Bawaslu, Pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling transparan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua Bawaslu Abhan di Jakarta, Rabu (29/5/2019).

Menurut Abhan, semua proses dan tahapan pemilu serentak 2019 dilakukan secara terbuka dan transparan. Publik dan juga peserta pemilu bisa melihat, mengamati dan mengontrol semua tahapan pemilu.

Hal ini berbeda dengan Pemilu di era Orde Baru. Bila dikatakan Pemilu kali ini yang terburuk, maka Bambang tentu saja telah mengabaikan fakta Pemilu yang manipulatif di era Orde Baru.

Padahal kita tahu, Pemilu di era Orde Baru hanyalah topeng dari rezim otoriter. Pemilu direkayasa sedemikian rupa sehingga menguntungkan Golkar dan Soeharto.

Pelaksaaan Pemilu pada 2019 ini sangat jauh dibandingkan era Orba. Pengawasan tak hanya dilakukan oleh Bawaslu saja, tetapi oleh puluhan lembaga independen dalam dan luar negeri.

Singkat kata, pernyataan BW yang menyatakan bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia merupakan pernyataan yang ahistoris, serta tidak didasarkan pada data dan argumen yang jelas.

Hal itu diucapkannya hanya karena dirinya menjadi pengacara pihak yang kalah saja, sehingga menuding Pemilu 2019 merupakan yang terburuk. Tetapi ungkapan itu jelas tak berdasarkan kenyataan.

Meski demikian, kita harus akui memang masih ada kekurangan dan kesalahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Namun dengan berbagai mekanisme yang ada, kesalahan dan kekurangan tersebut bisa dikoreksi. Inilah yang berbeda dibandingkan dengan era Soeharto dulu.

Mari kita berpikir adil dalam menilai sesuatu. Jangan karena keberpihakkan kita saat ini kita mengorbankan nalar dan pengetahuan, hanya demi ambisi politik.

Pesan ini paling pas ditujukan ke BW dan para elit 02 yang tak mau dan mampu berpikir dengan adil.

Saturday, 25 May 2019

Aksi Rusuh 22 Mei Bukan Demokrasi, Itu adalah Pembajakan Demokrasi!

Aksi Rusuh 22 Mei Bukan Demokrasi, Itu adalah Pembajakan Demokrasi!


Kerusuhan 22 Mei bukanlah aksi demonstrasi dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sebaliknya, hal itu merupakan aksi kekerasan dan premanisme yang dibungkus atas nama demokrasi.

Kerusuhan tersebut layak disebut sebagai pembajakan terhadap demokrasi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.

Disebut pembajakan demokrasi karena tidak melalui prosedur dan mekanisme dalam negara demokrasi. Seharusnya apabila ada keberatan terkait pilpres, peserta aksi tempuh jalur hukum.

Massa perusuh itu sama sekali tidak ingin menyampaikan aspirasi, melainkan hanya ingin berbuat kerusuhan dan mengacaukan keadaan.

Diduga kuat aksi kerusuhan itu memang sengaja dilakukan untuk menimbulkan korban jiwa yang dijadikan martir. Dengan jatuhnya korban jiwa maka akan memicu kemarahan publik yang lebih luas. Inilah tujuannya.

Aksi kerusuhan itu sendiri tak bisa dilepaskan dari konteks tidak terimanya kubu Prabowo-Sandi atas kekalahannya di Pemilu 2019. Karena kalah, mereka membangun narasi curang.

Tak hanya itu, kubu 02 juga kerap berkoar-koar untuk mengajak rakyat menggelar people power. Hasilnya, para pendukungnya pun semakin terdorong untuk berbuat nekat.

Oleh karena itu, kita patut berharap agar aparat kepolisian dapat menindak tegas pelaku kerusuhan tersebut. Ini demi terciptanya ketertiban umum di masyarakat.

Kita berharap para elit politik di barisan Prabowo-Sandi dapat bersikap dewasa dan mau menerima kekalahan dengan legowo. Kalaupun tidak puas, seharusnya mereka menggugat ke MK. Bukan mengerahkan massa untuk membuat ricuh di negeri sendiri.

Semoga Indonesia baik-baik saja.

Ingin Bersihkan Benalu Demokrasi, Petisi Tangkap Prabowo dan Amien Rais Bergaung di Media Sosial

Ingin Bersihkan Benalu Demokrasi, Petisi Tangkap Prabowo dan Amien Rais Bergaung di Media Sosial


Pasca kerusuhan 22 Mei, petisi tangkap Amien Rais dan Prabowo bergema di media sosial. Keduanya disebut sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi.

Petisi di situs change.org itu dibuat oleh masyarakat karena mereka sudah geram dengan tingkah keduanya yang semakin memanaskan suasana dan memprovokasi.

Masyarakat menilai Prabowo dan Amien Rais sebagai dalang dan provokator yang menyebabkan kerusuhan 21 dan 22 Mei yang terjadi di Bawaslu, Tanah Abang, hingga Petamburan, Jakarta.

Sebagaimana diketahui, Prabowo dan Amien Rais memang selalu memprovokasi para pendukung 02 untuk tidak menerima hasil Pilpres dengan tuduhan kecurangan tanpa bukti.

Bahkan, Amien Rais juga turut mengobarkan seruan people power untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Tingkah laku mereka sudah membuat rakyat marah dan ingin mereka diciduk serta mempertanggungjawabkan perbuatannya demi kedamaian Indonesia.

Adanya petisi di atas merupakan wujud partisipasi masyarakat Indonesia untuk membersihkan negeri ini dari para benalu demokrasi. Juga wujud kepedulian masyarakat agar kehidupan politik semakin sehat.

Kita berharap para dalang kerusuhan 22 Mei ini segera ditangkap dan diproses hukum. Karena akibat provokasi mereka, ada nyawa yang harus melayang.

Mereka itu adalah elit politik yang haus kekuasaan, sehingga berani mengorbankan rakyat kecil. Jangan beri panggung lagi kepada mereka.

Tuding Cendana sebagai Dalang, Mahasiswa se-Indonesia Kutuk Aksi Kerusuhan 22 Mei

Tuding Cendana sebagai Dalang, Mahasiswa se-Indonesia Kutuk Aksi Kerusuhan 22 Mei


Sejumlah elemen masyarakat mengutuk keras aksi kekerasan dan kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Salah satunya datang dari kelompok mahasiswa.

Baru-baru ini, sejumlah mahasiswa yang berasal dari sembilan kampus di wilayah DKI Jakarta dan kampus di 25 kota lain di Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi unjuk rasa yang berujung kerusuhan 21-22 Mei lalu.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Juru Bicara Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus se-Indonesia, Jeprie Nadapdap di Jakarta, pada Kamis (23/5/2019).

Selain mengutuk aksi kerusuhan tersebut, mereka juga menilai bahwa kerusuhan tersebut didalangi oleh keluarga Cendana. Sebab, pernyataan Titiek Soeharto sebagaimana disampaikan di dalam video yang viral di media sosial, bahwa aksi akan berlangsung damai ternyata tidak terbukti.

Hal ini menguatkan dugaan, bahwa aksi damai yang diserukan politisi Cendana itu hanya kamuflase belaka

Namun yang lebih miris adalah bahwa kejadian kerusuhan itu telah menghapus citra masyarakat Indonesia  yang dikenal ramah dan santun oleh masyarakat dunia.

Kita tentu saja sependapat dengan pandangan para mahasiswa di atas. Aksi kerusuhan karena kekalahan dalam Pemilu merupakan perbuatan yang tak dibenarkan, baik dari agama, hukum dan etika.

Hal itu hanya menunjukan sikap tidak dewasa dari kubu Prabowo-Sandi. Mereka hanya mau menang saja, tetapi tak siap untuk kalah. Ini bukanlah sikap seorang ksatria dan demokrat sejati.

Mari kita akhiri ketegangan pasca Pemilu ini. Terlepas siapapun yang menang, mari tanggalkan dukungan kepada para capres masing-masing dan mulai bergerak ke tengah meneguhkan persatuan Indonesia.

Mari kita galang kembali kerukunan, persatuan dan kesatuan. Keutuhan NKRI jauh lebih penting dibandingkan segenggam kekuasaan.

Tak perlu lagi kita jadikan kekerasan dan kerusuhan sebagai jalan keluar dari polemik politik. Stop! Para elit, ayo berdewasalah!

Ada Handy Talky PKS dalam Kerusuhan 22 Mei, Mereka Terlibat dalam Kerusuhan?

Ada Handy Talky PKS dalam Kerusuhan 22 Mei, Mereka Terlibat dalam Kerusuhan?


Sedikit demi sedikit fakta di balik kerusuhan 22 Mei di Jakarta mulai terbongkar. Hal ini setelah polisi mulai mendalami kasus kerusuhan yang terkait dengan hasil Pemilu 2019 tersebut.

Dari penyelidikan itu dugaan keterlibatan kubu Prabowo-Sandi dan koalisinya sebagai dalang kerusuhan semakin kuat. Hal ini setelah polisi menemukan sejumlah bukti yang mengarah sana.

Misalnya, Handy Talky (HT) berstiker Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ikut diamakan Polres Metro Jakarta Barat. Stiker logo itu memuat angka 8 yang menjadi nomor urut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Pemilu 2019, serta slogan bertuliskan "Ayo Lebih Baik".

Alat komunikasi itu disita sebagai barang bukti dari pelaku kericuhan, diantaranya, 90 ponsel, satu sarung, satu peer besi, 19 amplop yang berisi uang tunai, tujuh bongkahan batu, satu petasan, satu bambu runcing, satu golok, dua bom molotov, 12 anak panah dan satu gunting rumput.

Barang-barang tersebut diduga kuat digunakan oleh para perusuh untuk menyerang Asrama Polri Petamburan, Jakarta Barat. Selain itu, polisi juga berhasil mengkap 183 pelaku kericuhan.

Para pelaku dikenakan pasal 212 dan atau asal 214 KUHP tentang perlawanan terhadap petugas, pasal 170 KUHP tentang melakukan pengrusakan yang dilakukan selama bersama-sama, dan pasal 187 KUHP tentang pembakaran dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.

Dengan ditemukan barang-barang di atas, PKS terindikasi kuat "ikut bermain" dalam kerusuhan yang sebelumnya diklaim aksi damai tersebut. Mereka menjadi pihak yang berdiri di belakang aksi kerusuhan itu.

Kemungkinan lainnya, PKS juga turut menjadi penumpang gelap dengan membonceng setiap gerakan yang anti pemerintah. Temuan HT tersebut menjadi jalan pembuka pihak kepolisian untuk mendalami dan memastikan kasus ini lebih lanjut.

Kita berharap polisi dapat segera membongkar dalang dan pendana aksi kerusuhan 22 Mei tersebut. Semoga para provokatornya segera tertangkap agar Indonesia bisa kembali aman dan damai.

Prabowo Subianto, Sosok Paling Bertanggung Jawab bila Ada Kerusuhan Lagi

Prabowo Subianto, Sosok Paling Bertanggung Jawab bila Ada Kerusuhan Lagi


Terjadinya kerusuhan dalam Aksi 22 Mei di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat disayangkan oleh berbagai pihak.

Masyarakat pun percaya bahwa kerusuhan itu bukan terjadi secara spontan, melainkan telah dipersiapkan dengan matang dan ada dalangnya.

Adalah, Capres Prabowo Subianto orang yang paling bertanggung jawab menurut publik. Pasalnya, aksi demonstrasi itu terkait dengan sikapnya yang tak mau menerima kekalahan Pemilu 2019.

Prabowo juga menjadi orang paling bertanggung jawab apabila para pendukungnya kembali menggelar aksi hingga berujung kerusuhan seperti pada 22 Mei lalu.

Perlu diketahui, aksi kerusuhan itu tak terlepas dari tuntutan Prabowo-Sandi untuk menganulir hasil Pemilu 2019. Sebab mereka merasa Pemilu 2019 ini penuh kecurangan.

Di samping itu, kubu Prabowo-Sandi juga kerap menyebarkan provokasi untuk people power dan menolak gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Berbagai provokasi itu akhirnya membuat adanya kristalisasi diantara pendukungnya, sehingga mereka semakin militan dan berani melawan pemerintah.

Singkat kata, tak ada yang pantas disebut orang yang paling bertanggung jawab dalam kerusuhan 22 Mei lalu, kecuali Prabowo dan elit-elit politik di sekitarnya. Mereka lah yang menciptakan prakondisi sebelum kerusuhan meletus.

Meski demikian, kita sekarang patut mengapresiasi Capres nomor urut 02 tersebut karena telah meminta para pendukungnya untuk menghindari segala kekerasan, taat hukum, dan menghentikan aksi damai untuk sementara waktu.

Selain itu, Prabowo juga meminta aparat keamanan untuk bertindak arif. Ajakan Prabowo itu seiring dengan anjuran Presiden Joko Widodo yang ingin membangun kerukunan, kebersamaan dan kehidupan bangsa Indonesia.

Yang paling penting, kita berharap agar pernyataan Prabowo tersebut dapat diikuti oleh para pendukungnya dengan baik. Mari kita hentikan pertikaian karena kepentingan politik para elit.

Friday, 24 May 2019

Terbongkar, Ambulans Pengangkut Batu Hadir ke Jakarta Karena Instruksi DPP Partai Gerindra

Terbongkar, Ambulans Pengangkut Batu Hadir ke Jakarta Karena Instruksi DPP Partai Gerindra


Pada aksi kerusuhan 22 Mei lalu, Polisi melakukan pengamanan terhadap mobil ambulans berlogo Partai Gerindra. Kendaraan tersebut diamankan karena kedapatan membawa batu, alat-alat tawuran, dan sejumlah uang. 

Benda-benda itu yang rencananya akan diberikan pada massa perusuh di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI di Jalan MH Thamrin, Rabu (22/5).

Dalam pemeriksaan sementara, mobil ambulans yang berisi batu tersebut merupakan instruksi dari Gerindra Jabar. Instruksi secara tertulis tersebut ditujukan kepada seluruh DPC Gerindra se-Jawa Barat.

Isi surat itu disebutkan pengiriman ambulans tersebut untuk membantu kelancaran aksi dengan dasar “Perintah Lisan” DPP Partai Gerindra.

Bila benar begitu, artinya mereka memang sudah merencanakan segala sesuatu dengan matang dan bersiap untuk melancarkan aksi brutalnya dengan mengirimkan ambulans sebagai kamuflase untuk menyelundupkan batu ke wilayah aksi dan membuat kerusuhan.

Kasus mobil ambulans ini bisa membuka kotak pandora mengenai siapa dalang dari aksi kerusuhan 22 Mei lalu. Adanya pengiriman ambulans atas instruksi Gerindra Jabar tersebut adalah bukti bahwa kubu Prabowo-Sandi sebagai pihak yang menginisiasi dan menggalang demonstrasi tersebut. 

Kubu Prabowo memang telah merencanakan agenda kerusuhan dalam aksi 22 Mei secara matang. Salah satunya dengan mempersenjatai sejumlah massa bayaran dengan menggunakan batu. 

Lucunya, meski manuver Partai Gerindra telah terbaca melalui kasus ambulans tersebut, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon yang membantah jika ambulans itu milik Partai Gerindra. 

Padahal Ketua DPC Gerindra Kota Tasikmalaya, Nandang Suryana telah membenarkan ambulans tersebut milik DPC Gerindra Kota Tasikmalaya yang rencananya akan dibawa ke Seknas Prabowo-Sandi di Jakarta atas perintah DPD Gerindra Jawa Barat. 

Dengan adanya saling lempar pernyataan tersebut menunjukan adanya kurang koordinasi antara DPP, DPD dan DPC Partai Gerindra. Karena itulah rencana jahat kubu Prabowo mudah sekali terbongkar.

Dengan melihat kasus ambulans di atas, sudah jelas kan siapa dalang kerusuhan 22 Mei kemarin? Ya, orang-orang itu lagi.

Monday, 20 May 2019

Balada Senja Koalisi 02, Demokrat yang Move On dan Tak Memiliki Utang kepada Prabowo-Sandi


Perpecahan kubu Prabowo-Sandi semakin tak terelakkan. Keretakan itu paling kentara terlihat diantara Partai Gerindra dan Demokrat. 

Setelah saling melempar perang urat syaraf, Partai Demokrat mengaku tak memiliki beban dan utang masa lalu dalam koalisi "Adil dan Makmur" yang digalang Prabowo-Sandi. 

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik melalui akun Twitter pribadinya @RachlanNashidik

Pengakuan itu didasarkan sebuah fakta bahwa partai besutan SBY itu tak pernah memohon bergabung kepada Prabowo. Sebaliknya justru mantan Danjen Kopassus itu yang meminta untuk bergabung ke koalisinya saat mereka sedang berusaha membentuk poros ketiga. 

Menurut Demokrat perjuangan di koalisi (Indonesia Adil Makmur) berakhir saat pencobolosan pemilu dilaksanakan. Karenanya, mereka kini bebas menentukan langkah setelah Pilpres 2019. 

Pengakuan Wasekjen Demokrat itu tentu saja mengagetkan semua pihak. Hal itu menunjukan bahwa Demokrat berusaha agar tak mau tenggelam dalam kegalauan Prabowo yang merasa menang, walaupun sebenarnya sudah kalah telak. 

Dengan rasional, Demokrat memilih untuk move on karena posisi partainya sudah aman melampaui parliamentary threshold 4% untuk menjadi peserta Pemilu 2024 mendatang. 

Sikap mereka pun berubah, tidak menentang sikap Prabowo terang-terangan dengan menyatakan mundur dari koalisi, tetapi memilih untuk mendukung jalan konstitusional mengenai perkara Pemilu. Melalui cara ini, Demokrat perlahan berbeda jalan dengan Prabowo. 

Koalisi 02 pun perlahan akan pecah dengan sendirinya. Klaim kekompakan yang ditunjukkan koalisi Prabowo-Sandi hanyalah gimmick belaka. Sejatinya mereka tak ada yang satu suara. 

Publik pun selama ini telah melihat sebuah formasi politik yang amburadul di tengah demokrasi yang harusnya  sudah dewasa. Tapi karena aktor-aktornya masih kekanak-kanakan maka, cita-cita politik yang beradab pun sepertinya masih belum terwujud. 

Mari kita saksikan senjakala koalisi 02 setelah mereka kalah telak dari petahana. Akankah bertahan atau berpencar? Semua tinggal waktu yang menjawabnya. 

Bila GNKR Berakhir Rusuh, Langsung Cokok Saja Amien Rais dkk!"

Bila GNKR Berakhir Rusuh, Langsung Cokok Saja Amien Rais dkk!"


Unjuk rasa besar-besaran diprediksi akan mewarnai pengumuman hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei 2019. Bila demonstrasi itu mengarah pada aksi kericuhan atau kekerasan, maka para penggeraknya harus bertanggung jawab.

Aparat kepolisian diharapkan dapat bersikap tegas bila Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) itu berujung pada gangguan keamanan nasional. Kalau perlu, para inisiatornya langsung ditangkap saja agar situasi bisa kembali normal.

Nama-nama yang patut dicatat sebagai inisiator mobilisasi massa itu adalah Ketua Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandi, Amien Rais, Eggi Sudjana dan Kivlan Zen.

Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) merupakan gerakan yang baru dideklarasikan pada Jumat 17 Mei 2019 kemarin.

Gerakan ini merupakan penggantian istilah 'people power' yang kerap digaungkan Amien Rais, Eggi Sudjana, Kivlan Zein dan sejumlah tokoh lainnya yang terafiliasi kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno

Kata "People Power" kemudian diubah "Kedaulatan Rakyat" setelah polisi menangkap Eggi Sudjana dengan tuduhan makar. Amien Rais menjadi salah satu tokoh yang bertanggungjawab terhadap GNKR.

Untuk itu, masyarakat diminta agar waspada atas setiap provokasi yang mengarah pada kericuhan. Meski begitu, kita tak perlu khawatir yang berlebihan dengan potensi adanya kericuhan saat aksi 22 Mei nanti.

Hal ini karena aparat keamanan akan berjaga penuh menjamin dan memastikan keselamatan rakyat dari gangguan keamanan tersebut.

Mari kita aktivitas biasa pada 22 Mei mendatang. Tak perlu ikut aksinya, juga tak perlu terprovokasi dengan hasutan dari kubu Prabowo-Sandi.

Tak Perlu People Power, Rakyat Telah Wujudkan Kedaulatan Rakyat pada Pemilu 2019

Tak Perlu People Power, Rakyat Telah Wujudkan Kedaulatan Rakyat pada Pemilu 2019


Meski provokasi gerakan people power terus digencarkan oleh kubu Prabowo-Sandi, pada dasarnya rakyat tidak begitu minat dengan itu. 

Bentuk people power tidak pernah terjadi di Indonesia karena seluruh kekuatan rakyat telah ditunjukkan saat pemilu 17 April yang lalu. 

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Ia meyakini bahwa rakyat telah menunjukkan haknya sebagai penentu kedaulatan masa depan Indonesia. Itulah people power yang sesungguhnya.

Wujud "people power" itu bisa dilihat dari berbondong-bondongnya masyarakat saat mencoblos pilihannya pada 17 April lalu. Alhasil partisipasi rakyat cukup tinggi pada Pemilu 2019 ini. 

Sehingga mereka yang akan memaksakan kehendaknya untuk menentang hasil Pemilu 2019 ini akan cacat dalam demokrasi yang kita sepakati. Mereka itu akan berhadapan dengan kekuatan rakyat yang sejati. 

Harus disadari, people power yang sesungguhnya harusnya semakin menjamin Pemilu aman dan damai hingga penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilu pada 22 Mei mendatang. 

Adanya seruan dan hasutan gerakan people power itu tak lebih hanya berasal dari pihak-pihak yang kecewa dan tak siap kalah, serta menjadi bagian dari dinamika Pemilu yang sesaat.

Oleh karena itu, jangan mau diprovokasi oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab  untuk mengorbankan harta dan nyawanya demi ambisi politik segelintir orang tersebut. Jangan mau jadi martir untuk hal yang sesat. 

Pengecut dan Pembohong, Kubu Prabowo-Sandi Tak Bisa Buktikan Tuduhan Kecurangan di Pemilu 2019

Pengecut dan Pembohong, Kubu Prabowo-Sandi Tak Bisa Buktikan Tuduhan Kecurangan di Pemilu 2019


Meski kerap berteriak mengenai kecurangan Pemilu, kubu Prabowo-Sandi pada dasarnya tak memiliki bukti dan data yang valid untuk membuktikannya. Mereka hanya memainkan informasi hoaks dan fitnah untuk menjaga emosi pendukungnya saja. 

Buktinya, saat para relawan pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin membuka sayembara bagi yang bisa membuktikan adanya kecurangan terstruktur sistematis dan masif (TSM) di Pemilu 2019, tak ada satu pun pendukung Prabowo-Sandi yang ikut sayembara tersebut. 

Padahal, sayembara itu menjanjikan duit Rp 100 miliar bagi yang bisa membuktikan bahwa pihak Jokowi-Ma'ruf melakukan kecurangan di Pemilu 2019 secara brutal dan TSM. 

Dengan tak adanya pendaftar sayembara itu dapat dikatakan bahwa kubu Prabowo-Sandi hanya menjual kata-kata saja soal kecurangan Pemilu. Mereka koar-koar soal kecurangan, tetapi tak bisa membuktikannya. 

Kubu Prabowo-Sandi adalah gerombolan pembohong dan penyebar hoaks. Sejak dulu mereka terkenal dengan kelakukan yang suka mencaci maki, menghujat, memprovokasi, berbohong, memfitnah dan memutarbalikkan fakta untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Perilaku Prabowo ini jauh dari sikap negarawan, karena menonjolkan sisi egois dan ambisi berkuasa dalam kadar akut yang sangat mengerikan. Sehingga, Prabowo dan kubunya sangat pantas disebut gerombolan pengecut dan pembohong.

Jangan pernah percaya dengan klaim para pembohong seperti itu. Karena selain bermodal kebohongan, mereka juga suka menebar fitnah. Mari berpikir dengan akal sehat. 

Sangkal Pimpin Aksi Ifthor Akbar 212, Kubu Prabowo Lepas Tangan?

Sangkal Pimpin Aksi Ifthor Akbar 212, Kubu Prabowo Lepas Tangan?


Upaya lepas tangan dilakukan oleh Prabowo Subianto atas rentetan mobilisasi massa menjelang pengumumang Pemilu 2019. Ia seolah tak mau bertanggung jawab dengan bergeraknya massa karena provokasinya selama ini. 

Hal itu terlihat saat Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ferry Juliantono, menampik kabar Prabowo akan memimpin aksi Ifthor Akbar 212, di depan Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Mei 2019 nanti.

Padahal sebelumnya, Dewan Pembina Majelis Syuro DPP Front Pembela Islam (FPI) Muchsin Alatas mengklaim aksi Ifthor Akbar 212 akan dimpimpin langsung oleh calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto.

Penyangkalan akan datangnya Prabowo ke acara Ifthor Akbar 212 juga datang dari Andre Rosiade. Ia mengaku belum mengetahui apakah Prabowo bakal menghadiri Ifthor Akbar 212. 

Aksi Ifthar Akbar 212 direncanakan oleh Persaudaraan Alumni 212. Mereka akan menggelar Ifthor Akbar 212 pada 21 dan 22 Mei 2019 nanti untuk menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan mengumumkan hasil penghitungan suara. 

Dengan adanya penyangkalan di atas, diduga kuat ada upaya lepas tangan dari kubu Prabowo yang terkesan tidak mau disalahkan apabila terjadi kerusuhan dalam aksi politik berkedok kegiatan keagamaan, apalagi jika sampai terjadi tindakan makar.

Penyangkalan itu juga menunjukkan bahwa kubu Prabowo seolah-olah tidak mau bertanggung jawab bila terjadi kerusuhan atau ada tindakan di luar hukum oleh para pendukungnya. 

Padahal, diakui atau tidak, dalang dari semua ini adalah Prabowo dan para kloninya yang terus memprovokasi masyarakat melalui ajakan people power. 

Provokasi dan seruan itu akhirnya menyulut emosi pendukung yang fanatik dan militan, sehingga mereka berani berbuat nekat serta melanggar aturan hukum. 

Jadi, bila terjadi kerusuhan ataupun kekerasan fisik saat pengumuman hasil Pemilu 2019, tak ada yang patut disalahkan kecuali Prabowo dkk. Mereka itulah kompor kerusuhan tersebut. 

Hanya demi segenggam kekuasaan, mereka berani mengorbankan nyawa pendukungnya. Bahkan bersedia merusak persatuan dan kesatuan bangsa sendiri. Sungguh keterlaluan! 

Sunday, 19 May 2019

Ayo Dinginkan Situasi! Prabowo-Sandi dan Para Elit Politik 02 Tak Bisa Lepas Tangan pada Aksi 22 Mei

Ayo Dinginkan Situasi! Prabowo-Sandi dan Para Elit Politik 02 Tak Bisa Lepas Tangan pada Aksi 22 Mei


Situasi politik nasional semakin memanas menjelang pengumuman hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei mendatang. 

Ancaman keamanan nasional pun semakin terbuka menyusul adanya rencana aksi demonstrasi pendukung Prabowo-Sandi. 

Sebagaimana diketahui, para pendukung 02 ini hendak menggelar people power atau demonstrasi besar-besaran bila mereka dinyatakan kalah dalam rekapitulasi resmi versi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang berbahaya bila pendukung Prabowo-Sandi itu semakin tak terkendali dan berbuat nekat.

Oleh karena itu, sejumlah elemen masyarakat meminta Prabowo dan para elit lainnya untuk melarang para pendukungnya agar tidak melanggar hukum dalam aksi menjelang pengumuman hasil rekapitulasi perhitungan suara pemilihan presiden.

Prabowo diminta mewanti-wanti agar pendukungnya tak memprovokasi atau terprovokasi hingga berbuat nekat. Ia harus bisa meredam amarah pendukungnya, bila tak ingin Indonesia kacau balau.

Dalam situasi seperti ini, pasangan calon presiden-wakil presiden dan elite politik tak boleh lepas tangan terhadap apa yang mungkin dilakukan para pendukungnya. Mereka harus ikut bertanggung jawab untuk mendinginkan situasi.

Apalagi, para pendukungnya ini memiliki fanatisme dan militansi yang besar. Bila provokasi terus dilanjutkan dikhawatirkan dapat membuat kekacauan nasional. 

Untuk itu, paslon dan elite di sekitar mereka harus menetralisasi keadaan agar fanatisme dan militansi itu tak berujung pada aksi nekat yang melanggar hukum.

Di sinilah Prabowo-Sandiaga perlu memberikan pernyataan tegas agar para pendukung mereka tak berbuat nekat.

Mengingat, saat ini ada kelompok-kelompok yang menjadi penumpang gelap yang mencari momentum sebagai ajang membuat kekacauan. Inilah yang harus diwaspadai bersama. 

Demokrasi Indonesia merupakan tanggung jawab para elit karena mereka bisa menggerakkan para pendukungnya untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum dan demokrasi. 

Kita berharap para elit politik itu sadar dan bersedia untuk mencegah situasi memanas. Ini adalah pertaruhan demokrasi Indonesia. 

Jangan sampai kekacauan atau kerusuhan menjadi jalan keluar. Bagaimanapun kekerasan tak pernah membawa hasil yang positif bagi kehidupan rakyat. 

Wednesday, 15 May 2019

Awas, Politik Kamikaze ala Prabowo-Sandi untuk Delegitimasi Presiden Terpilih

Awas, Politik Kamikaze ala Prabowo-Sandi untuk Delegitimasi Presiden Terpilih


Prosesi Pemilu 2019 mendekati masa akhir. Hasil pesta demokrasi ini tinggal menunggu hari lagi. 

Namun, ada satu bahaya yang perlu diwaspadai dari manuver-manuver politik kubu Prabowo-Sandi. Setelah tahu diri mereka akan kalah, dikhawatirkan mereka akan nekat dan menjalankan "politik kamikaze".

Kamikaze adalah sebuah istilah bahasa Jepang yang berasal dari nama angin topan dalam legenda yang disebut-sebut telah menyelamatkan Jepang dari invasi Mongol pada tahun 1281.

"Kamikaze" dalam bahasa Inggris umumnya merujuk kepada serangan bunuh diri yang dilakukan awak pesawat Jepang pada akhir kampanye Pasifik Perang Dunia II terhadap kapal-kapal laut Sekutu. 

Dalam konteks ini,  kubu Prabowo juga akan menerapkan kamikaze dalam permainan politiknya, yaitu serangan bunuh diri atau serangan frustasi dengan harapan lawan akan mendapat kerusakan yang lebih besar dengan mengorbankan sedikit pasukan. 

Alasannya karena Prabowo adalah sosok bermasalah di masa lalu dan tanpa prestasi, sehingga jika ada sebagian rakyat Indonesia yang tidak memilihnya, sebisa mungkin rakyat dibuat untuk tidak memilih Jokowi. 

Masyarakat perlu mewaspadai jika kamikaze politik ini gagal, maka kaum radikal di bawah naungan Prabowo tidak menutup kemungkinan akan melakukan kamikaze secara fisik. Inilah yang lebih berbahaya dan patut diwaspadai. 

Ada 3 contoh yang gamblang dari politik kamikaze ala Prabowo Subianto. Semua merujuk pada upaya untuk mendelegitimasi kepemimpinan Jokowi. 

Pertama, dari sisi Panji Pragiwaksono. Ia mengaku memilih Jokowi, padahal ia kampret. Jika benar memilih Jokowi, ia tidak perlu sok netral dengan membuat video "malas pilih Jokowi" dan "tidak ada alasan memilih Prabowo". Ia bersiasat bahwa jika banyak masyarakat Golput, maka suara pendukung Jokowi akan banyak tergerus.

Kedua dijalankan oleh Dhandy Laksono. Ia membuat film yang sok netral dan mengajak Golput, tetapi isinya lebih banyak menjelekkan kubu Paslon 01 dan memfitnah anak Jokowi.

Ketiga oleh Cak Nun. Ulama ini mengaku sok netral, padahal kampret. Dalam ceramahnya ia menyebut Jokowi dan Prabowo bukan putra terbaik bangsa yang secara tidak langsung menyuarakan Golput, sehingga dapat menggerus suara Jokowi.

Keempat, ada juga pihak yang pura-pura netral, kemudian berkunjung ke kiai NU biar dibilang netral hingga dijuluki Syekh oleh pendukung Jokowi. Namun saat terakhir malah menyatakan dukungan kepada Prabowo dengan cerita mimpi yang tidak jelas juntrungannya.

Semua itu adalah serangan-serangan kubu Prabowo-Sandi untuk mendelegitimasi kemenangan Jokowi. Karena tahu pasti akan kalah, mereka membangun taktik agar pasangan capres-cawapres 01 itu tidak dipercaya rakyat. 

Membaca fenomena seperti ini sangat penting, agar kita tak mudah terobang-ambing dengan tipu muslihat politik kamikaze ala Prabowo-Sandi. Mari cermati dan amati. 

Diminta Legowo, Lagi-Lagi Prabowo Diejek Media asal Luar Negeri

Diminta Legowo, Lagi-Lagi Prabowo Diejek Media asal Luar Negeri


Lagi-lagi, kubu Prabowo-Sandi diolok-olok oleh media luar negeri. Kali ini dilakukan oleh The Sydney Morning Herald yang meminta kubu 02 tersebut legowo atas kekalahannya dalam pemilu 2019. 

Media asal Australia itu memuat berita yang menohok dan menampar muka Prabowo. “Indonesia's Prabowo must face reality and accept defeat. Again", adalah tajuk yang diusung The Sydney Morning Herald pada 13 Mei 2019. 

Menurut penulis artikel tersebut, James Massola, Prabowo memiliki watak yang tak berubah dalam lima tahun ini. Ia sama-sama tak mau menerima kekalahan dengan bermartabat layaknya ksatria dalam dua Pilpres terakhir. 

Kebodohan yang dipamerkan timses Prabowo dan pendukungnya itu telah membuat jurnalis asing terheran karena Prabowo ngotot mengklaim kemenangan berkali-kali. 

Sementara perolehan suaranya sudah mencapai 15 juta pemilih. Ini angka yang signifikan. Namun sama seperti 2014, Prabowo juga menolak hasil Pilpres.

Oleh karena itu, dalam tajuknya The Sydney Morning Herald meminta Prabowo harus menerima kekalahan. Karena secara logika kemenangan Jokowi saat ini sudah tidak bisa dikejar, meskipun dengan berbagai tuduhan kecurangan Pemilu.

Itulah pengingatan dari media asing bagi kubu Prabowo-Sandi. Bila mereka tak percaya media nasional dan lebih percaya media asing, harusnya kubu 02 mengikuti saran dari The Sydney Morning Herald tersebut. 

Sekali lagi, mari terima hasil Pemilu 2019 dengan lapang dada. Bila kalah, terima kekalahan itu dengan bermartabat. Jangan memprovokasi rakyat untuk menentang konstitusi dan makar. 

Pengecut! Bachtiar Nasir Kabur ke Luar Negeri Saat Terjerat Kasus Hukum

Pengecut! Bachtiar Nasir Kabur ke Luar Negeri Saat Terjerat Kasus Hukum


Meski mengaku sebagai ulama, kelakuan Bachtiar Nasir ini sungguh tak pantas diikuti umat Islam. Karena sikapnya menunjukan watak pengecut dan tak mau bertanggung jawab.  

Hal ini terlihat setelah mantan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI itu mangkir dari panggilan Bareskrim Polri hari ini, Selasa (14/5/2019). 

Ia tak memenuhi undangan pemeriksaan polisi karena mengaku sedang memenuhi undangan acara Liga Musim Dunia. 

Padahal status Bachtiar Nasir saat ini tengah dicekal ke luar negeri. Ia menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal pengalihan aset Yayasan Keadilan Untuk Semua.

Apa yang dilakukan oleh anggota BPN Prabowo-Sandi itu disinyalir ingin meniru Habib Rizieq Shihab yang kabur ke luar negeri saat diperiksa polisi. 

Hal itu menegaskan bahwa tokoh-tokoh Islam dari kubu pendukung Prabowo-Sandi banyak yang bermasalah hukum. Hal ini bukan karena kasus kriminalisasi, tetapi karena kelakuan pribadinya masing-masing yang melanggar hukum. 

Mereka itu adalah ulama-ulama su' yang memanfaatkan dalil agama demi kepentingan dan ambisi pribadi. Umat Islam hendaknya waspada dan berhati-hati dengan jenis ulama seperti itu. 

Oleh karena itu, jangan mau digiring opini dan mengikuti kelakuan ulama palsu yang melanggar hukum ini. Bagaimanapun mereka bukan suri tauladan yang baik. 

Jebakan Eggi Sudjana dan Sikap yang Inkonsisten soal Intervensi Hukum

Jebakan Eggi Sudjana dan Sikap yang Inkonsisten soal Intervensi Hukum


Sikap yang mencla-mencle dan inkonsisten kembali dipraktikan oleh pendukung Prabowo-Sandi. Hal ini terlihat dari permintaan Eggi Sudjana yang minta Presiden Joko Widodo intervensi Polri atas kasus hukum yang menjeratnya. 

Sebelumnya, anggota BPN Prabowo-Sandi ini terjerat kasus makar karena memprovokasi massa untuk menggelar people power. 

Namun, setelah dirinya tersangkut kasus hukum, Eggi kini meminta Presiden Joko Widodo memberikan keadilan atas kasus yang menjeratnya. Eggi saat ini berstatus tersangka kasus dugaan makar.

Eggi berkata jika dirinya ditahan usai pemeriksaan, maka polisi telah melakukan kriminalisasi. Dan, Presiden Jokowi disebutnya bisa mencegah dirinya ditahan.

Lucunya, Eggi menolak anggapan bahwa presiden tidak boleh melakukan intervensi terhadap proses hukum. Presiden, menurut Eggi, boleh mengintervensi karena menjabat sebagai pemimpin negara.

Sikap kontras ini sungguh berbeda ketika dirinya berkoar-koar dalam kasus Ahok dulu. Pada kasus yang menjerat Gubernur DKI Jakarta tersebut, dia menyebut bahwa Jokowi tidak boleh intervensi hukum. 

Dua sikap yang berbeda itu menunjukan bahwa Eggi berusaha mendefinisikan hukum sesuai kehendak hatinya sendiri. Dia tak paham mengenai asas imparsialitas dalam hukum. 

Presiden Jokowi tetap kukuh pada posisinya yang sesuai konstitusi. Bahwa Presiden tidak akan ikut campur pada proses hukum. 

Karena dalam sistem tata negara kita telah diatur mengenai pembagian kekuasaan atau trias politica. Dimana proses hukum adalah ranah yudikatif, bukan eksekutif. 

Eggi dengan permintaannya di atas juga dikatakan sebagai upaya untuk mencoba menjebak Presiden Jokowi agar mengintervensi Polri. 

Padahal selama ini, Presiden Jokowi konsisten menghindari persepsi bahwa dirinya dapat mengintervensi penegakan hukum di Indonesia.

Permintaan Eggi di atas hanyalah taktik untuk menjebak lawan politik. Sesungguhnya dia setengah berharap penahanan itu benar-benar terjadi, agar secara politik dirinya bisa dipandang sebagai korban kesewenang-wenangan Pemerintah.

Itulah kelicikan dari kubu pendukung Prabowo-Sandi. Mereka bermuka dua dan kerap bersikap bunglon. Melalui taktik tersebut dia berusaha mendiskreditkan pemerintahan yang sah saat ini. 

Oleh karena itu, kita jangan mudah percaya omongan orang-orang yang tak konsisten seperti Eggi Sudjana dan/atau kubu BPN Prabowo-Sandi lainnya. Mereka adalah para politisi licik yang hanya mengejar karir dan kuasa saja. 
Sindiran Keras Habibie dan Kemunafikan Prabowo


Sikap Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang tak mau menerima hasil real count KPU mendapat cibiran dari banyak pihak. Salah satunya dari mantan Presiden RI ke-3, Prof. BJ Habibie. 

Habibie menyindir Prabowo yang menyebabkan kebingungan massal atas hasil Pemilu 2019. Hal ini sebagaimana diungkapkan Habibie pada acara Buka Bersama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) beberapa waktu lalu. 

Kebingungan itu berasal dari klaim kemenangan sepihak kubu 02 atas Pilpres 2019 ini. Padahal, kenyataannya belum ada hasil resmi dari KPU.

Ia menyesalkan banyak pihak yang kebingunan akibat adanya saling klaim bahwa paslon tertentu yang memenangi Pilpres 2019 sebelum penetapan dari KPU.

Habibie mengkhawatirkan bahwa pihak yang kalah nantinya akan mengerjakan perlawanan dengan teknik yang tidak cocok dengan ketentuan hukum berlaku.

Ia sebenarnya berharap setiap pihak, terutama kubu Prabowo-Sandi, untuk menunggu keputusan KPU untuk mengetahui pemenang Pilpres 2019. 

Seharusnya, pihak-pihak yang tidak puas itu dapat mengikuti mekanisme yang berlaku andai merasa dirugikan. 

Mereka juga bisa mengajukan usulan perubahan undang-undang sesuai dengan prosedur yang berlaku. Bukan malah mengajak rakyat untuk menciptakan kegaduhan, seperti people power atau demonstrasi massa. 

Kubu Prabowo dan pakar-pakar di belakangnya harusnya paham terkait mekanisme penyelesaian sengketa sesuai UU tersebut. Jika tak paham baiknya dibubarkan saja, namun jika paham berarti terdapat niat untuk melanggar aturan tanpa peduli dampak yang ditimbulkan. 

Atau, kemungkinan lain, Prabowo lebih mendengarkan bisikan dari ormas-ormas keagamaan yang cenderung radikal daripada saran dari partai pendukungnya. Bila ini benar, maka sungguh sangat berbahaya.

Kita harus tahu bahwasanya penggunaan sentimen politik identitas dari Prabowo merupakan perjuangan dengan memanfaatkan atas nama Tuhan YME untuk ambisi kuasa pribadi dan kelompoknya. 

Hal ini sungguh merupakan bentuk kemunafikan yang hakiki. Maka waspadalah!

People Power Bukan Ajaran Islam dan Ajakan yang Menyesatkan

People Power Bukan Ajaran Islam dan Ajakan yang Menyesatkan


Wacana people power yang diajukan oleh kubu Prabowo-Sandi mendapat tentangan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. 

Menurut mereka, ajakan people power merupakan ajakan yang menyesatkan. Untuk itu, masyarakat jangan sampai terprovokasi dan ikut ajakan tersebut.

Menurut Wakil Ketua PWNU Jawa Timur Reza Ahmad Zahid, people Power bukan cerminan masyarakat yang beragama, yang berbangsa dan bernegara dan jauh dari etika bangsa. 

Oleh karena itu, Pengasuh Ponpes Al Mahrusiyah Lirboyo Kediri itu meminta masyarakat harus berhati hati dalam bertindak dan menindak lanjuti ajakan maupun seruan melalui sosial media.

Baginya, people power merupakan gerakan yang akan melawan keputusan dari lembaga negara, yaitu Komisi Pemilihan Umum.

Sebaiknya kalau sudah ditetapkan oleh konstitusi dan oleh pemerintah, sebagai rakyat, sebagai bangsa yang mengikuti aturan pemerintah dan UUD 1945 harus tunduk dengan konstitusi. 

Tidak ada alasan untuk people power karena yang diserang jelas-jelas sesama muslim. Hal itu adalah saudaranya sendiri. 

Jika pihak yang keberatan dengan hasil KPU menerima dengan lapang dada, maka masyarakat pasti bangga. Itu akan dianggap ksatria dan bijaksana. 

Indonesia merupakan negara hukum, jika ada ketidak puasan masyakat terkait hasil keputusan KPU, ada cara dan mekanismenya. Karena Indonesia adalah negara hukum berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Kini, Indonesia sudah saatnya kembali maju dan berdamai demi kepentingan warga masyarakat. Yang dibutuhkan Negara Indonesia adalah aman dan damai. 

Jangan lagi ada kegaduhan. Apalagi people power sebagaimana yang diusung oleh Prabowo-Sandi. Mari menatap masa depan dengan optimis.

Friday, 10 May 2019

Ajak People Power, Eggi Sudjana Ditetapkan sebagai Tersangka Makar


Makar merupakan ancaman nasional, dan pelanggaran ini diakui dalam hukum di Indonesia. Siapapun yang mengajak masyarakat untuk menggulingkan kekuasaan dengan cara yang tidak sah dan konstitusional pasti akan terjerat kasus hukum.

Baru-baru ini, Polda Metro Jaya menetapkan advokat Eggi Sudjana terkait dugaan makar. Eggi ditetapkan tersangka terkait pernyataan "people power" menyusul adanya hasil quick count Pilpres 2019.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono, membenarkan perihal status hukum Eggi tersebut.

Penetapan tersangka Eggi ini setelah proses gelar perkara pada 7 Mei kemarin dengan kecukupan alat bukti, seperti enam keterangan saksi, empat keterangan ahli, beberapa dokumen, petunjuk, dan kesesuaian alat bukti.

Eggi akan dijerat dengan Pasal 107 KUHP dan atau Pasal 110 KUHP jo Pasal 87 KUHP dan atau Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Perlu diketahui, ajakan people power yang pernah dinyatakan oleh Eggi Sudjana itu merupakan ancaman bagi stabilitas keamanan negara yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Pidato tentang people power yang dilontarkan Eggi memiliki indikasi penggulingan kekuasaan yang sah tanpa melalui proses demokrasi yang telah ditentukan.

Adapun Eggi Sudjana ini merupakan bagian dari tim pemenangan Prabowo-Sandi. Mereka tak terima dengan kekalahan pada Pilpres 2019 ini, sehingga berencana mengadakan people power untuk merebut kekuasaan dengan cara yang salah.

Meskipun demikian, tak semua eksponen pendukung Prabowo-Sandi solid. Faktanya telah terjadi perpecahan di kubu Prabowo-Sandi, dimana terdapat pihak yang telah menerima kekalahan, namun ada pihak yang tetap ngotot ingin menjadi pemenang.

Eggi termasuk golongan kedua yang dalam perjalanannya melakukan serangkaian kegiatan yang tak masuk akal, termasuk ajakan untuk people power yang berujung pada penetapan sebagai tersangka oleh polisi.