Friday, 14 June 2019

Konyol, Poin Gugatan Prabowo-Sandi untuk Mengganti Komisioner KPU Ternyata Salah Alamat

Konyol, Poin Gugatan Prabowo-Sandi untuk Mengganti Komisioner KPU Ternyata Salah Alamat


Pasangan capres dan cawapres Prabowo-Sandi akhirnya melayangkan dokumen perbaikan gugatan PHPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam dokumen tersebut tercantum 15 petitum dari sebelumnya hanya tujuh petitum.

Salah satu poin dalam petitum adalah Prabowo-Sandi meminta lembaga berwenang untuk mencopot seluruh komisioner KPU.

Poin gugatan Prabowo itu sepertinya salah alamat. Pasanya, persoalan etik penyelenggara pemilu menjadi wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Masalah itu bukanlah menjadi 'domain' dari MK. Lembaga peradilan itu hanya berwenang untuk menangani sengketa hasil pemilu.

Hal ini juga menjadi pandangan dari Ketua KPU Arief Budiman. Ia mengingatkan juga bahwa petitum yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu itu ranah DKPP.

Dengan begitu, sebenarnya memperlihatkan bahwa kubu Prabowo-Sandi tidak paham dengan gugatannya sendiri. Mereka juga terlihat tidak tahu mekanisme ketatanegaraan yang benar.

Tidak heran jika mereka menggunakan gaya jalanan untuk memprotes sesuatu yang tidak menguntungkan bagi pihaknya.

Kita sebagai publik yang waras harus terus mengkritisi penyesatan narasi seperti yang dilakukan oleh Prabowo-Sandi di atas. Setiap wacana yang diungkapkan ke publik harus dilihat dan ditimbang dengan matang.

Hal ini merupakan bagian dari mendorong wacana yang sehat di masyarakat. Juga agar tidak terjadi putusan yang salah di MK.

Benarkah Kiai Maruf Melanggar Aturan dalam Pencalonan Cawapres? Simak Penjelasan Ini

Benarkah Kiai Maruf Melanggar Aturan dalam Pencalonan Cawapres? Simak Penjelasan Ini


Ada yang aneh dengan perbaikan permohonan Prabowo-Sandi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, mereka kini mempermasalahkan pencalonan cawapres KH. Maruf Amin.

Salah satu poin perbaikan yang diajukan oleh koalisi 02 tersebut, yakni mengenai jabatan KH Ma'ruf Amin di dua BUMN. Dalam jabatannya tersebut, Kiai Maruf memang masih tercatat sebagai Dewan Pengawas Syariah di BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah.

Menurut mereka, kenyataan tersebut melanggar pasal 227 huruf (P) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Sebelum menanggapi itu, kita sebaiknya membaca terlebih dahulu UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, serta dikaitkan pasal 227 huruf P UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tanpa kita kaji dengan mendalam, kita akan mudah digiring dalam narasi sesat.

Berdasarkan UU BUMN, perusahaan disebut plat merah apabila ada penyertaan modal dari negara secara langsung dan dipisahkan kekayaannya. Hal ini tercantum dalam pasal 1 UU BUMN.

Sedangkan, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah itu modalnya tak dimiliki oleh negara. Melainkan dimiliki oleh perusahaan BUMN.

Perlu diketahui, pemegang saham BSM adalah PT. Bank Mandiri dan PT. Mandiri Sekuritas. Sedangkan BNI Syariah yang menjadi pemegang sahamnya adalah PT. Bank BNI dan PT. BNI Life Insurance

Dengan demikian, kedua perusahaan tersebutl bukanlah BUMN, sebagaimana yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN.

Sedangkan dalam pasal 227 huruf P UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengharuskan seorang calon presiden atau wakil presiden membuat surat pernyataan pengunduran diri jika dirinya adalah karyawan atau pejabat dari badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD).

Dari membandingkan dua pasal itu saja, kita harusnya bisa paham bahwa Kiai Maruf Amin tidak sedang menjabat di perusahaan BUMN. Melainkan menjadi Dewan Pengawas Syariah di anak perusahaan BUMN. Kedua hal ini tidak sama.

Ini berbeda kalau Kiai Maruf Amin menjadi Direksi, Komisaris atau karyawan Bank Mandiri atau Bank BNI, dimana negara menjadi pemegang saham melalui penyertaan langsung dengan menempatkan modal disetor yang dipisahkan dari kekayaan negara. Maka di situ Ketua Umum MUI (non-aktif) itu bisa dikatakan melanggar hukum.

Apalagi, jabatan Dewan Pengawas Syariah pada bank Syariah itu bukan karyawan, atau direksi, juga komisaris yang merupakan pejabat badan usaha berbentuk perseroan terbatas. Ia adalah lembaga independen internal yang dibentuk untuk mengawasi jalannya perusahaan tersebut dari sisi aturan syariah.

Jadi apa yang didalilkan sebagai tambahan materi baru tentang Kiai Ma'ruf Amin oleh Tim Kuasa Hukum Paslon 02 itu adalah hal yang mengada-ada dan tidak didasarkan pada pemahaman yang benar atas isi aturan UU terkait.

Masyarakat sebaiknya perlu memahami ini agar tidak rancu dan salah persepsi mengenai dalil gugatan hukum Prabowo-Sandi tersebut.

Cara Cuci Tangan Prabowo dkk, Bilang Jangan ke MK tapi FPI Tetap Demo ke MK

Cara Cuci Tangan Prabowo dkk, Bilang Jangan ke MK tapi FPI Tetap Demo ke MK


Meski telah menyerukan kepada para pendukungnya untuk tidak datang ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukatinya Front Pembela Islam (FPI) tak mengindahkannya.

Pasalnya, FPI Kota Bandung tetap akan mengirimkan ratusan anggotanya ke Jakarta untuk mengawal proses sidang PHPU Pilpres 2019. Hal ini telah dibenarkan oleh Sekretaris FPI Kota Bandung Ahmad Kurniawan.

Ia mengatakan anggotanya yang dikirim ke MK untuk mengawal sidang PHPU Pilpres 2019 ini mencapai 500 orang.

Hal ini tentu mengundang pertanyaan besar. Mengapa FPI tetap mengirimkan pasukannya ke Jakarta, sedangkan Prabowo sudah mengingatkan pendukungnya agar tidak datang ke MK? Apakah sudah pecah kongsi diantara mereka? Atau ini hanya taktik belaka?

Bila dilihat dari rekam jejaknya selama ini, kemungkinan besar apa yang diungkapkan oleh Prabowo soal larangan pendukungnya agar tidak datang ke MK itu hanyalah lip service saja. Itu hanya manis di mulut, tetapi tidak dijalankan dengan serius.

Justru itu adalah taktik agar dirinya seolah-olah tetap bersih, tetapi operasi untuk membuat kericuhan tetap dilakukan. Di balik larangannya tersebut, ada kemungkinan Prabowo justru menggerakan massa FPI tersebut.

Dengan cara seperti ini, Prabowo-Sandi dan BPN-nya akan dengan mudah cuci tangan atas apa yang akan terjadi ketika FPI ke MK. Terutama ketika terjadi kerusuhan atau kericuhan lain, nama mereka tetap aman.

Memang agak aneh kehadiran FPI dalam sidang di MK tersebut. Pasalnya, dalam sistem ketatanegaraan ini, FPI bukan siapa-siapa di negeri ini, hanya ormas saja, tidak kurang dan tidak lebih.

Mau berteriak sekeras-kerasnya tidak akan ada gunanya karena FPI tidak punya legal standing di sana. Lalu apa gunanya mereka ada di MK sementara Prabowo sendiri sudah menginstruksikan pendukungnya untuk datang ke MK? Ini membuktikan kemungkinan adanya agenda pribadi dan tersembunyi.

Jika memang Prabowo bukan sedang mau cuci tangan, maka perintahkan saja dengan keras kepada pendukungnya dari FPI untuk mundur. Atau, ancam saja ormas pimpinan Rizieq Shihab itu dengan dukungan kepada pemerintah agar tidak memberikan izin ormas kepada mereka.

Tapi, sayangnya itu tak mungkin dilakukan oleh Prabowo. Diam-diam dia memang menikmati keberadaan ormas yang suka melakukan kekerasan ini. Salah satunya sebagai martir kerusuhan, dan atau pasukan nasi bungkus untuk demontrasi demi kepentingannya.

Ada yang bisa membantahnya?

Tudingan Prabowo-Sandi soal Penggelembungan Suara hingga 22 Juta Sungguh Tak Masuk Akal

Tudingan Prabowo-Sandi soal Penggelembungan Suara hingga 22 Juta Sungguh Tak Masuk Akal


Tudingan kubu Prabowo-Sandi kepada lawannya sungguh tak berdasar. Pasalnya, mereka menyebut pasangan Jokowi-Maruf Amin itu telah menggelembungkan suara hingga 22 juta suara.

Entah dari mana datanya, namun tuduhan tersebut dimasukkan dalam gugatan Prabowo-Sandi dalam sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan dalih penggelembungan suara itulah Jokowi-Maruf Amin akhirnya bisa menang, dan Prabowo menganggap, bila tidak ada penggelembungan suara, dialah yang menang Pilpres 2019.

Prabowo-Sandiaga tidak membantah perolehan suara miliknya yang diumumkan KPU, yaitu 68.650.239 suara. Namun paslon nomor urut 02 itu keberatan atas keputusan KPU yang menyebut Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan 85.607.362 suara.

Versi Prabowo-Sandiaga, semestinya Jokowi-Ma'ruf hanya memperoleh 63.575.169 suara. Jadi KPU dinilai telah menggelembungkan suara Jokowi-Ma'ruf sebanyak 22.034.193 suara.

Terkait itu, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menyebut bahwa tuduhan penggelembungan suara sebanyak 22 juta itu sungguh tidak dapat diterima.

Menurutnya, tudingan itu sungguh tidak berdasar, sebab angka tersebut tidak diketahui darimana asalnya sementara selisih keduangan sebanyak 16 jutaan.

Secara normal, untuk membuktikan adanya indikasi kecurangan terhadap 16 jutaan suara tersebut tentu tidak mudah. Mereka harus mengumpulkan bukti dan saksi dari ribuan TPS yang jelas membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya tambahan.

Oleh karena itu, KPU dengan tegas telah menepis tuduhan tersebut dan memastikan telah menyelenggarakan Pemilu 2019 berpedoman pada prinsip transparansi, adil dan independen.

Bagi publik Indonesia sendiri, poin gugatan dari Prabowo-Sandi di atas juga tak masuk akal. Kita tak pernah tahu dari mana asal klaim penggelembungan suara tersebut.

Kita berharap para hakim MK dapat bekerja dengan teliti, adil dan transparan. Sehingga putusannya pun bisa mencerminkan kebenaran sejati sesuai hati nurani.

Ungkap Dalang Kerusuhan 21-22 Mei, KontraS Percaya Laporan Tempo Bisa Dipertanggungjawabkan

Ungkap Dalang Kerusuhan 21-22 Mei, KontraS Percaya Laporan Tempo Bisa Dipertanggungjawabkan


Baru-baru ini, publik Indonesia digegerkan dengan laporan investigasi Majalah Tempo yang membongkar seputar kerusuhan 21-22 Mei. Hal ini mendapatkan apresiasi dari banyak pihak, salah satunya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang HAM tersebut percaya bahwa liputan investigasi yang berjudul "Tim Mawar dan Rusuh Sarinah" itu dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk itu, KontraS meminta polisi segera menindaklanjuti temuan Tempo tersebut. Sehingga tidak mencoreng nama lain yang pernah menjadi anggota Tim Mawar Kopassus pada 1997.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Wakil Koordinator KontraS Bidang Strategi dan Mobilisasi, Ferry Kusuma, pada Rabu (12/6) lalu.

Sebagaimana diketahui, Fauka Noor Farid diduga sebagai salah satu dalang kerusuhan dalam unjuk rasa yang berakhir rusuh pada 21-22 Mei lalu. Ia adalah bekas anggota Tim Mawar (grup Kopassus yang terlibat penculikan aktivis pada 1997-1998 lalu).

Fauka Noor sendiri merupakan Ketua Bidang Pendayagunaan Aparatur Partai Gerindra. Namanya disebut-sebut dalam laporan Tempo di atas sebagai salah satu aktor yang menggerakan kerusuhan.

Meskipun, dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo, Fauka menampik kabar tersebut dan menyebut bahwa Tim Mawar selalu dikaitkan dengan kerusuhan.

Untuk membuktikan kebenarannya, kita berharap polisi segera menindak lanjuti laporan Tempo tersebut. Mari kita bongkar, apakah anggota Gerindra dan bekas Tim Mawar itu terlibat atau tidak.

Thursday, 13 June 2019

Tidak Konsisten, Angka Klaim Kemenangan Prabowo-Sandi Terus Berubah

Tidak Konsisten, Angka Klaim Kemenangan Prabowo-Sandi Terus Berubah


Meski mengaku menang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, banyak data yang tidak konsisten dari pasangan capres-cawapres, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Angka kemenangan yang diklaim mereka selalu berubah-ubah sejak 17 April lalu.

Awalnya, kubu Prabowo-Sandi itu mengklaim menang 62 persen, kemudian berubah menjadi 56 persen dan sekarang tinggal 52 persen. Ini menunjukan ketidakkonsistenan dari klaim kemenangan Prabowo-Sandi.

Angka yang berubah-ubah itu juga menunjukan bahwa tuntutan mereka jauh panggang dari api. Lakon mereka pun lebih mirip kisah dalam fiksi.

Klaim yang berubah-ubah itu tentu saja juga membuat kepercayaan publik semakin menipis kepada koalisi 02 tersebut.

Bagaimana publik akan percaya bila klaim kemenangan mereka selalu berubah seperti itu? Apakah mereka tak memiliki data yang valid? Inilah pertanyaan besar publik Indonesia.

Adapun angka kemenangan 52 persen itu dinyatakan oleh Prabowo-Sandi dalan berkas gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun angka itu pun juga tak wajar.

Mereka hanya mengajukan klaim, tanpa disertai bukti yang kuat. Alhasil data internal Prabowo-Sandi itu patut diragukan.

Pasalnya, selain tak pernah membuka tempat dan perhitungan internal mereka secara resmi, kubu Prabowo-Sandi juga mengajukan data yang tak sinkron. Itupun sudah sejak dari pernyataan internal mereka.

Dengan demikian, kita belum bisa menerima data yang valid dari Prabowo-Sandi. Mereka hanya menjual klaim kemenangan, tanpa data dan fakta.

Masih kah kita percaya dengan mereka?

Friday, 7 June 2019

Ke-Geer-an, Partai Gerindra Mengaku Ditawari Kursi Jokowi

Ke-Geer-an, Partai Gerindra Mengaku Ditawari Kursi Jokowi


Ada-ada saja kelakuan Partai Gerindra ini. Saat para elit politik sibuk rekonsiliasi dan silaturahim pasca Pilpres, mereka justru ke-geer-an dengan tawaran kursi menteri dari Presiden terpilih, Joko Widodo.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade. Ia menyebut bukan lagi rahasia soal tawaran kursi menteri dari Joko Widodo kepada Partai Gerindra.

Apalagi, Gerindra adalah salah satu partai yang perolehan suaranya cukup menjanjikan di parlemen jika dibandingkan dengan partai lain. Maka tak heran Jokowi berusaha mempererat hubungan dengan partai pimpinan Prabowo Subianto ini.

Lucunya, sikap terlalu percaya tinggi itu justru membuat kubu Jokowi-Maruf Amin terheran-heran. Pasalnya, mereka saja belum pernah bertemu dengan Gerindra, kok tiba-tiba mengaku mendapatkan tawaran kursi.

Bagi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Ace Hasan Sadzily, sikap Gerindra itu terlalu gede rasa (GR). Maklum mereka itu kelompok yang kalah, tetapi halusinasi sebagai pemenang.

Alih-alih mengklaim sudah ditawari jatah kursi menteri, Ace justru menasehati Gerindra agar sowan atau bersilaturahmi kepada Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai presiden.

Untuk Gerindra, lebih baik silaturahmi saja dulu seperti yang dilakukan AHY dan Zulkifli Hasan supaya suasana menjadi adem dan penuh dengan kesejukan di momen  lebaran ini.

Kita sendiri kadang kasihan dengan kelakuan elit partai Gerindra itu. Selain halusinasi, mereka kerap bertindak jauh dari nalar yang sehat.

Baiknya Partai Gerindra jangan terlalu percaya diri dengan mengklaim ditawari kursi menteri. Masih banyak orang-orang yang lebih pantas, berkompeten, dan lebih baik dari orang-orang di Partai Gerindra itu.

Lucu aja sih. Setelah kalah, sekarang mau enaknya aja. Jangan ngarep deh!

Mudik Lancar, Fadli Zon Meradang

Mudik Lancar, Fadli Zon Meradang


Ada banyak cara bagi pihak oposisi untuk mendiskreditkan pemerintah. Namun itu kerap dilakukan dengan cara yang tidak masuk akal. Salah satunya oleh Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon.

Misalnya, saat arus mudik tahun ini lancar, dia tak mau mengapresiasinya sebagai hasil kerja pemerintah. Sebaliknya, dia malah mencurigai itu karena warga enggan mudik yang diakibatkan oleh mahalnya tarif tol dan tiket pesawat.

Sehingga, menurutnya, minimnya kemacetan lalu lintas selama arus mudik tahun ini sudah sewajarnya terjadi. Hal ini sebagaimana disampaikan Fadli usai menghadiri open house di Rumah Dinas Ketua DPR RI, Jl Widya Chandra III, Jakarta Selatan, Rabu (5/6

Bila diamati, kritikan dari Fadli Zon ini sungguh tak masuk akal. Pasalnya, lancarnya mudik tahun ini justru disebabkan oleh warga menggunakan jalan tol.

Dengan adanya jalan tol yang tersambung dari Jakarta-Probolinggo dan lintas Sumatera, mudik via jalur darat jauh lebih cepat. Ini membuat mobilisasi masyarakat semakin mudah dan efisien.

Jadi, bisa disimpulkan kritik dari Fadli Zon ini tak masuk akal.

Fadli Zon seperti tidak rela pemerintah mendapatkan kesan yang positif dari masyarakat, sehingga ia berusaha mendegradasi prestasi pemerintah yang mendapatkan apresiasi luas dari pengguna sarana transportasi terkait kelancaran mudik lebaran.

Salah satunya dengan menyebut bahwa kelancaran mudik tahun ini bukanlah sesuatu yang harus dilebih-lebihkan karena itu memang tugas pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas kepada masyarakat pembayar pajak.

Hal itu wajar saja, sebab sebagaimana kita tahu, Fadli Zon memang selalu nyinyir terhadap keberhasilan pemerintah. Mungkin dalam hatinya penuh iri dan dengki, sehingga jika ada kesempatan dia akan menjelek-jelekan pemerintah.

Oposisi seperti itu sungguh tidak bermutu. Karena sejatinya oposisi adaah partner pemerintah dalam sistem demokrasi. Jika ada yang baik, harusnya diapresiasi bukan malah mencari cara untuk menjelek-jelekannya.

Namun sepertinya, Gerindra dan Fadli Zon tak paham soal ini.

Tanggapan Minim Solusi, Komentar Anies Baswedan soal Terjepitnya ABG saat Takbiran Keliling di Jakarta

Tanggapan Minim Solusi, Komentar Anies Baswedan soal Terjepitnya ABG saat Takbiran Keliling di Jakarta


Beberapa waktu lalu, viral sebuah video yang menunjukan gerombolan ABG terjepit karena naik di atas bus TransJabodetabek di kawasan terowongan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kasus ini pun tak bisa diantisipasi dengan baik oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Bus yang sedang melintas di terowongan itu terpaksa berhenti lantaran gerombolan ABG di atas bus itu terjepit langit-langit underpass.

Video ini sempat diunggah oleh sejumlah akun media sosial, termasuk akun Instagram @jktinfo pada Rabu (5/6/2019). Peristiwa itu sendiri disebut-sebut terjadi di terowongan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (4/6) malam.

Terjepitnya bocah itu terjadi saat momen takbiran keliling menjelang Hari Raya Idulfitri lalu. Sebagaimana diketahui, event takbiran keliling itu diperobolehkan lagi oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Bahkan, Anies sendiri terlihat ikut dan merayakan takbiran dengan berkeliling kota.

Namun seperti tak belajar dari pengalaman sebelumnya, banyak mudharat dari kegiatan tersebut. Meski niatnya baik, tapi banyak ekses negatif ditimbulkan dari acara takbir keliling, seperti kecelakaan lalu lintas dan/atau terjepitnya bocah-bocah tersebut.

Ketika ditanya tanggapannya soal kasus di atas, dia pun hanya 'ngeles' dengan berdalih akan membuat peraturan yang melarang sopir memberikan kesempatan bocah-bocah untuk 'nebeng' di atas atap. Penjelasan itu pun hanya sekadar lips service karena tak diikuti dengan rencana dan time line yang jelas.

Hal ini mengindikasikan bahwa Gubernur DKI Anies Baswedan tak bisa mengatur ketertiban warga di Jakarta yang sedang melakukan takbiran. Sehingga terjadi insiden terjepitnya beberapa orang di atas bus yang sedang melewati under pass.

Meskipun tak sampai menimbulkan korban, tak seharusnya konvoi takbiran diisi dengan penumpang di atas bus.

Anies Baswedan sebagai gubernur DKI tak banyak memiliki perhatian hingga aturan yang tegas khususnya di momentum Idul Fitri tahun ini.

Tanggapannya yang akan segera mengusut sopir bus tersebut justru dianggap bukan jawaban mencerahkan dari seorang gubernur. Itu hanyalah retorika saja.

Dengan kondisi seperti itu, kepemimpinan Anies di Jakarta banyak yang meragukannya. Karena kondisi Jakarta yang tak kunjung membaik dan kebahagiaan segera dirasakan masyarakat.

Jelas, slogannya "Maju Kotanya, Bahagia Warganya" hanyalah pepesan kosong.

Mau Rujuk Kalau Menang MK, Rekonsiliasi Bersyarat Gerindra?

Mau Rujuk Kalau Menang MK, Rekonsiliasi Bersyarat Gerindra?


Desakan rekonsiliasi antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto semakin kuat dari publik Indonesia. Namun sayangnya proses itu seperti bertepuk sebelah tangan, dimana Jokowi membuka tangan, tetapi tidak dengan Prabowo.

Hal ini terlihat dari pernyataan Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN), Fadli Zon. Ia mengatakan Prabowo saat ini masih berfokus terkait gugatan kecurangan di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga tidak mempertimbangkan ajakan rekonsiliasi terlebih dahulu.

Waketum Gerindra itu tak mau berspekulasi mengenai rencana pertemuan Jokowi dan Prabowo. Menurutnya, pertemuan itu tergantung dengan proses gugatan di MK.

Dengan cara seperti itu, Gerindra sama sekali tidak menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik. Sebab, hanya Gerindra yang terkesan menolak wacana rekonsiliasi dan kemenangan Jokowi-Ma’ruf.

Bahkan, mereka justru memilih mengerahkan massa dan membuat kerusuhan hingga mengarah kepada upaya makar. Padahal, partai koalisinya seperti Demokrat dan PAN menerima hasil Pilpres 2019 demi menjaga persatuan bangsa.

Pernyataan Fadli Zon yang tidak mau berspekulasi terkait rekonsiliasi Prabowo-Jokowi itu sebenarnya ingin mengatakan bahwa hasil di MK menjadi prasyarat terjadinya rekonsiliasi karena jika menang di MK.

Bila mereka menang, maka Prabowo Cs akan dengan senang hati menerima rekonsiliasi. Namun jika MK menolak, maka dampak negatifnya harus dihadapi masyarakat seperti kerusuhan 22 Mei.

Sikap ini sama sekali tak dewasa dalam arena demokrasi. Terlepas hasil di MK, mereka seharusnya bersedia untuk rekonsiliasi antar elit politik.

Hal ini penting untuk meredakan ketegangan dan polarisasi di masyarakat. Dengan saling silaturahmi dan komunikasi antar elit, kerukunan masyarakat dapat lebih baik.

Kita sangat berharap Gerindra mau mempertimbangkan ajakan rekonsiliasi kubu Jokowi-Maruf Amin demi keutuhan bangsa Indonesia. Mari turunkan ego masing-masing, kita kuatkan rasa persatuan.

Secara De Facto, PAN Akui Koalisi Prabowo-Sandi Sudah Berakhir

Secara De Facto, PAN Akui Koalisi Prabowo-Sandi Sudah Berakhir


Koalisi 02 Prabowo-Sandi perlahan mulai ditinggalkan oleh partai-partai penyokongnya. Hal ini setelah Partai Amanat Nasional (PAN) memberikan sinyal terkait sikap politiknya.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum PAN, Bara Hasibuan. Ia menyatakan bahwa keberadaan partainya dalam koalisi Prabowo-Sandi telah selesai sejak diumumkan hasil rekapitulasi nasional oleh KPU.

Secara de facto, Pemilihan Presiden itu selesai pada 17 April lalu. Meskipun ada proses penghitungan suara, penetapan hasil oleh KPU dan gugat-menggugat di MK, tetapi bagi PAN, koalisi Prabowo-Sandi sudah selesai sejak pencoblosan dilakukan.

Saat ini, PAN masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah itu baru partai berlambang matahari itu akan menetapkan langkah selanjutnya, apakah akan berada di jalur oposisi atau bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf.

Di sisi lain, momen Hari Raya Idul Fitri 1440 H ini sebaiknya dimanfaatkan sebagai momentum saling memaafkan dan berekonsiliasi antar para pesaing di Pilpres 2019.

Menurutnya, kunci dari rekonsiliasi adalah pihak yang kalah dalam pemilu harus dapat menerima dan menghormati hasil Pemilu.

Tentu saja ada rasa kecewa, tidak terima, tapi itu semua harus dikesampingkan demi kepentingan bangsa, kepentingan nasional, dan kepentingan yang besar. Bangsa ini harus tetap satu setelah kompetisi yang begitu ketat.

Mari kita hargai keputusan KPU, MK, dan peraturan hukum terkait lainnya. Jangan sampai ambisi kekuasaan membutakan mata hati kita.

Thursday, 6 June 2019

Polri akan Ungkap Hasil Investigasi Kerusuhan 21-22 Mei dengan Transparan dan Terbuka

Polri akan Ungkap Hasil Investigasi Kerusuhan 21-22 Mei dengan Transparan dan Terbuka


Proses penyelidikan atas kasus kerusuhan 21-22 Mei masih terus dilakukan. Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menjamin Polri akan transparan dalam melakukan investigasi.

Salah satunya dengan adanya rencana tim pencari fakta atau tim investigasi yang dibentuk Polri menggelar jumpa pers bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dengan jumpa pers tersebut akan dipaparkan beberapa temuan Polri terkait kerusuhan yang ditengarai bermotif politik tersebut.

Kemudian, untuk menjamin indepedensi dalam mengungkap fakta dalam kasus tersebut, tim investigasi Polri akan melibatkan Kompolnas dan Ombudsman RI. Tim itu juga akan dipimpin langsung oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Moechgiyarto.

Tim investigasi ini akan mengungkap perbedaan aksi damai dan unjuk rasa dengan aksi kriminal yang sengaja membuat kerusuhan. Dari hasil pemeriksaan Polri ini, ada peristiwa yang berbeda pada saat aksi di Jalan MH Thamrin dan Tanah Abang pada 22 Mei lalu.

Sejauh ini, tim investigasi sudah bisa membedakan antara aksi damai dalam bentuk ibadah, buka puasa sambil tarawih dan adanya aksi yang memang sengaja anarkis rusuh dengan menyerang petugas.

Kedua aksi tersebut pada dasarnya berbeda peristiwa. Yang ada korban meninggal itu adalah peristiwa pada segmen kedua, bukan segmen pertama.

Selain itu, tim investigasi juga tak hanya mencari tahu penyebab jatuhnya korban, namun juga siapa yang mengorganisasi massa dan membiayai aksi tersebut.

Melihat pemarapan Kapolri di atas, kita optimis kasus kerusuhan 21-22 Mei tersebut akan terbongkar. Publik pun juga akan tahu siapa dalang dan pendana aksi rusuh tersebut.

Penanganan aksi demontrasi pada 21-22 Mei tersebut, kita tahu juga sudah sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP). Sehingga dalam kasus ini kita patut untuk mengapresiasinya.

Kita dukung aparat keamanan untuk membuka kasus kerusuhan itu seluas-luasnya. Supaya pihak-pihak yang berada di balik layar bisa segera ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tuesday, 4 June 2019

Salut! Pemerintahan Presiden Jokowi Berhasil Wujudkan Mudik 2019 Lancar dan Aman

Salut! Pemerintahan Presiden Jokowi Berhasil Wujudkan Mudik 2019 Lancar dan Aman


Pulang ke kampung halaman atau mudik saat Hari Raya Idulfitri menjadi tradisi turun temurun bagi masyarakat Indonesia. Hampir setiap tahun, momen mudik ini selalu diisi dengan kemacetan dan kecelakaan.

Namun segela cerita di atas agak berbeda dengan tahun ini. Mudik terpantau sangat lancar, baik dari sisi laju lalu lintas, turunnya kemacetan, hingga angka kecelakaan yang rendah.

Menurut catatan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terdapat penurunan traffic (laju lalu lintas) di 8 titik pemantauan. Kemacetan itu menurun hingga 70 persen.

Hal ini terjadi karena ketersediaan jalan Tol Trans Jawa yang terintegrasi sehingga membuat lalu lintas (traffic) jalan non-tol lengang.

Selain kemacetan turun, mudik tahun 2019 ini juga ditandai dengan menurunnya angka kecelakaan. Bila melihat data kecelakaan dibandingkan data tahun 2018 di hari yang sama, menurun tajam.

Selama 2019 ini yang tercatat kecelakaan sejumlah 220 kasus dengan korban meninggal dunia 90 orang. Ini terjadi penurunan tajam sampai 88 persen,

Karena prestasi kerja ini, PDI Perjuangan mengapresiasi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang sukses mewujudkan mudik Lebaran tanpa hambatan.

Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di Jakarta, Senin (3/6/2019).

Dengan kepemimpinan yang tepat, merakyat dan kemampuan perencanaan yang matang, mudik Lebaran 2019 menunjukkan kemajuan pesat tanpa hambatan yang berarti.

Keberhasilan tersebut tidak lepas dari perencanaan matang yang dimiliki pemerintah jelang arus mudik, dengan membangun gotong royong antara pemerintah, parpol, swasta dan BUMN dalam mengadakan mudik bersama.

Karena mudik ini lancar, kegembiraan rakyat pun niscaya. Masyarakat bergembira karena kinerja pemerintah yang dirasakan nyata untuk persoalan yang konkret.

Terlebih, selain soal arus mudik yang lancar, harga kebutuhan pokok rakyat juga relatif stabil dan terkendali. Inflasi terjaga sehingga tak ada kenaikan harga yang tinggi.

Diakui atau tidak, baru kali ini mudik berjalan lancar dan terjadi di seluruh moda transportasi. Dengan begitu, pemerintahan Jokowi-JK ini telah terbukti mampu menjawab kebutuhan masyarakat di musim mudik.

212 Messenger, Aplikasi Bodong untuk Dompleng Keuntungan Pribadi

212 Messenger, Aplikasi Bodong untuk Dompleng Keuntungan Pribadi


Ada-ada saja kelakuan 'Bani Monaslimin' ini. Baru-baru ini, mereka mengklaim telah menemukan aplikasi perpesanan (messenger) pengganti Whatsapp, tetapi ternyata bodong.

Awalnya, beredar pesan secara berantai (broadcast) bahkan lengkap dengan seruan untuk memviralkannya, bahwa sebuah aplikasi chat yang diklaim sebagai aplikasi pengganti WhatsApp telah ditemukan.

Isi pesan berantai itu menyebutkan bahwa, seorang IT relawan muslim telah membuat sebuah aplikasi pengganti Whatsapp. Aplikasi ini bernama 212 Messenger dan sudah bisa di download play store.

Setelah diperiksa, apa yang disampaikan oleh pesan berantai itu dipastikan tidak benar. Fakta sebenarnya telah dikupas oleh reporter banjarmasinpost.co.id bersama pengamat siber dan pakar IT Kalsel, Andi Riza.

Menurut mereka, aplikasi 212Messenger itu baru diupload 27 Mei 2019. Sepertinya mereka memakai source code clone WA yang banyak dijual dipasaran.

Pengembangnya tidak jelas, dengan nama Loekerensdev (ga ada nama islaminya sama sekali, atau nama dev yang lebih terkesan professional).

Yang pasti, aplikasi chat tersebut hanya menumpang tenar dengan manamakan diri dengan angka 212 untuk memperluas pemasukan dari ads (iklan). Tetapi itu bukanlah aplikasi perpsanan pengganti WA.

Kemungkinan besar, aplikasi itu dibuat untuk mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan momentum 212. Untungnya segera terbongkar, sehingga tidak banyak korbannya lagi.

Kita berharap publik tidak tertipu dengan pesan palsu seperti di atas. Jangan mau diadu domba oleh bani monaslimin dengan informasi sesat, seperti fitnah dan hoaks.

Mari kita majukan akses informasi seluas-luasnya, tetapi tidak dengan membajak dan merusak tatanan Indonesia.

Muhammadiyah Himbau Partai Politik Bertanggung Jawab atas Keretakan Bangsa Indonesia Hari Ini

Muhammadiyah Himbau Partai Politik Bertanggung Jawab atas Keretakan Bangsa Indonesia Hari Ini


Pemilu 2019 memang telah usai digelar. Namun, suhu politik justru makin memanas beberapa waktu terakhir.

Hal ini menyita perhatian Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Menurut mereka, partai politik memiliki peranan yang besar untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Bahkan, tanggung jawab pembangunan bangsa terletak pada elit-elit politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Pandangan seperti sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum (Ketum) PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (30/5/2019).

Menurutnya, selain membangun bangsa, partai politik juga harus bertanggungjawab ketika bangsa mengalami keretakan. Sehingga, tidak hanya menyebarkan kontestasi saja.

Ia menghimbau semua pihak untuk mencegah mobilisasi massa yang memiliki peluang menimbulkan kerusuhan.

Menurutnya, kini banyak masyarakat yang mulai cemas akan kerenggangan yang terjadi sekarang ini. Salah satunya adalah soal Aceh. Ia pun sampai dititipi pesan untuk tidak diprovokasi oleh berbagai hal.

Terkait maraknya masalah soal ekonomi, liberalisasi, dan sosial budaya yang diproduksi, hal ini adalah tanggung jawab dari mereka yang duduk di Senayan alias anggota DPR. Kunci untuk meredakan suhu politik yang kian memanas ini adalah pada kaum elite bangsa.

Mari kita desak para elit politik untuk turut bertanggung jawab dengan kondisi sosial-politik bangsa Indonesia hari ini. Mereka harus bertanggung jawab atas kemaslahatan publik, dan keutuhan bangsa Indonesia.

Bila sampai ada perpecahan, pertama kali yang harus disalahkan adalah mereka. Sebab segregasi dan polarisasi masyarakat terjadi hari ini karena manuver dan provokasi mereka.

Setuju?

Tak Suka, SBY Protes Keras soal Pernyataan Prabowo yang Mempolitisasi Pilihan Politik Ani Yudhoyono

Tak Suka, SBY Protes Keras soal Pernyataan Prabowo yang Mempolitisasi Pilihan Politik Ani Yudhoyono


Tak disangka, suasana duka di rumah mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, diwarnai kejadian yang kurang mengenakkan.

Hal ini berawal dari kehadiran Prabowo Subianto yang melayat almarhum Ani Yudhoyono pada Senin (3/6) lalu. Dalam momen itu, entah disengaja atau tidak, pernyataan Ketum Partai Gerindra itu sungguh melukai perasaan SBY se-keluarga.

Pasalnya, saat itu Prabowo mengungkap pilihan politik Ibu Ani Yudhoyono di hadapan media. Menurutnya, Ibu Ani selalu memilihnya dalam Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Oleh karena itu, dia bisa memahami perasaan kehilangan SBY saat ini.

Kontan saja, SBY tidak suka dengan pernyataan Prabowo tersebut. Protes disampaikannya secara lisan dan dalam wujud gesture tubuh yang cukup jelas.

Intinya, SBY merasa keberatan dengan pernyataan Prabowo yang dianggapnya tidak pantas dan tidak elok untuk disampaikan saat ini.

Untuk itu, SBY meminta kepada awak media agar pernyataan Prabowo soal pilihan politik Ibu Ani Yudhoyono itu tidak ditampilkan. Ia meminta kepergian istrinya ini jangan dikait-kaitkan dengan politik.

Ia juga menyindir Prabowo bahwa pernyataannya itu tidak tepat dan kurang elok. Ia meminta kepada semua pihak untuk mengerti kesedihan yang melanda keluarganya saat ini.

Terang saja SBY marah seperti itu. Pasalnya, pernyataan Prabowo tersebut memang ngawur. Hal itu tidak tepat secara konten dan konteks.

Di tengah suasana duka seperti itu, Prabowo seharusnya bisa melayat dengan tulus ikhlas sebagai wujud rasa kemanusiaan. Bukan malah mempolitisasi pilihan politik almarhumah demi ambisi kuasa.

Sungguh, tidak elok dan kurang pantas dilakukan oleh seorang calon presiden. Untung saja, dia kalah.

Monday, 3 June 2019

Kesal, SBY Ungkapkan Keberatan atas Pernyataan Prabowo soal Pilihan Politik Ani Yudhoyono

Kesal, SBY Ungkapkan Keberatan atas Pernyataan Prabowo soal Pilihan Politik Ani Yudhoyono


Sungguh tak terbayangkan rasa kesal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini. Saat rasa dukanya belum juga hilang karena ditinggalkan oleh Istri tercinta, kini kepergian Ibu Ani Yudhoyono itu justru dipolitisasi oleh Prabowo Subianto.

Hal itu terjadi saat Prabowo Subianto takziah ke kediaman SBY pada Senin (3/6). Dalam momen itu, mantan Danjen Kopassus itu menyinggung pilihan politik Ani Yudhoyono pada Pilpres 2019 lalu.

Setelah menyampaikan karakter Ani, Prabowo menyebut kalau kakak Pramono Edhie itu memilihnya dalam Pilpres 2014 dan 2019.

"Saya juga diberitahu bahwa Ibu Ani mendukung saya memilih 2014 dan 2019 memilih saya jadi dan merasa saya bisa dapat merasakan gimana Pak SBY sekarang kondisinya," kata Prabowo.

Tentu saja, Presiden keenam RI itu merasa keberatan dengan pernyataan Prabowo Subianto tersebut. Rasa tidak suka pun langsung ditunjukannya melalui gesture tubuh dan pernyataan ke awak media.

Saat mendengar pernyataan Prabowo itu wajah SBY berubah masam. Ia terlihat langsung melipat lengan tangannya. Tidak sampai 5 menit, begitu selesai memberikan pernyataan pers, Prabowo langsung dipersilahkan pulang oleh SBY.

Tidak lama kemudian, SBY langsung memberikan keterangan kepada awak media. Di depan media, Presiden RI ke-6 itu meminta agar ujaran Prabowo tentang pilihan politik Ani untuk tidak disampaikan ke publik.

"Teman-teman ya itu statemen Pak Prabowo yang kaitannya dengan politik ya tentang Ibu Ani, please tidak disampaikan. Ini hari yang penuh (mengeluh nafas) ujian bagi saya, Ibu Ani jangan dikait-kaitkan dengan politik," kata SBY usai menerima Prabowo di kediamannya.

Menurutnya, pernyataan Prabowo Subianto itu tidak tepat dan tidak elok disampaikan saat ini. Pasalnya, kondisi keluarga SBY saat ini sedang berduka, dan dia tak ingin kepergian istrinya ini dikaitkan dengan politik.

Dengan kelakuan seperti itu, pikiran dan niat Prabowo untuk bertakziah dapat dipastikan tak sepenuhnya datang untuk berbela sungkawa. Prabowo seperti menghitung dulu untung dan ruginya bertakziah ke Rumah SBY.

Pasalnya, dukungan SBY dan Partai Demokrat sedang dalam keadaan gamang terhadap Prabowo. Prabowo sendiri juga melihat keuntungan dari bertakziah ini, yaitu mendapatkan kesempatan untuk menegaskan bahwa almarhumah mendukungnya di Pilpres 2014 dan 2019.

Dengan harapan, bahwa hal ini juga bisa menjadi sebuah sinyal yang harus ditangkap oleh SBY. Tujuannya tentu saja agar dukungan Demokrat tetap merapat ke koalisi 02.

Tapi terlepas dari soal politik seperti itu sebagai seorang pribadi, Prabowo gagal untuk memahami perasaan sedih masyarakat. Ia juga telah kehilangan nalurinya dengan mempolitisir takziah untuk kepentingan politiknya dan membuat geram keluarga yang berduka.

Sikap Prabowo ini sudah jauh menyimpang dari etika dan budaya bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi budaya tenggang rasa. Untung saja, sosok tanpa empati itu tidak terpilih dalam Pilpres kemarin, kalau sampai terpilih tentu saja akan merepotkan banyak orang.

Ungkit Pilihan Politik Alm. Ani Yudhoyono, Belasungkawa Prabowo Subianto Tak Ikhlas dan Politis

Ungkit Pilihan Politik Alm. Ani Yudhoyono, Belasungkawa Prabowo Subianto Tak Ikhlas dan Politis


Kelakuan tidak etis dan kurang elok dipertontonkan Prabowo Subianto kala bertakziah di kediaman Alm. Ani Yudhoyono. Pasalnya, di tengah situasi duka dan berkabung, Ketum Partai Gerindra itu malah mengungkit soal pilihan politik almarhumah.

Kejadian ini terekam secara langsung oleh media nasional, dan langsung menjadi pembicaraan publik se-Indonesia. Tentu saja, mayoritas sangat menyesalkan 'blunder' Prabowo tersebut.

Awalnya, kehadiran Prabowo ke kediaman SBY itu menjadi momen yang dinanti publik. Sebab sejak Ani Yudhoyono wafat dan dimakamkan, Prabowo menjadi salah satu tokoh politik nasional yang belum bertakziah. Hal ini karena dia sedang berada di luar negeri dan pesawatnya baru mendarat di Jakarta pada Senin (3/6/2019).

Tidak sampai 30 menit, Prabowo pun menyampaikan isi pembicaraannya dengan SBY. Ia mengucap bela sungkawa sekaligus meminta maaf tidak bisa hadir dalam acara pemakaman Ani Yudhoyono.

Selain itu, ia juga menceritakan tentang niatan untuk menjenguk Ani, tetapi batal setelah mendengar kondisi anak Sarwo Edhie itu membaik.

Namun bukan itu ucapan Prabowo yang menjadi sorotan. Di depan awak media dan tentu saja di sebelah SBY, mantan Danjen Kopassus itu menyinggung pilihan politik Ani Yudhoyono pada Pilpres 2019 lalu.

Setelah menyampaikan karakter Ani, Prabowo menyebut kalau istri SBY itu memilihnya dalam Pilpres 2014 dan 2019.

"Saya juga diberitahu bahwa Ibu Ani mendukung saya memilih 2014 dan 2019 memilih saya jadi dan merasa saya bisa dapat merasakan gimana Pak SBY sekarang kondisinya," kata Prabowo.

Kontan saja, SBY tidak suka dengan pernyataan tersebut. Presiden RI ke-6 itu pun langsung mengungkapkannya melalui gesture tubuh dan pernyataan yang "keras".

Misalnya, mendengar pernyataan Prabowo itu wajah SBY langsung berubah masam. Ia terlihat langsung melipat lengan tangannya.

Tidak sampai 5 menit, begitu selesai memberikan pernyataan pers, Prabowo langsung dipersilahkan pulang oleh SBY. Tidak lama setelah itu, SBY pun langsung memberikan keterangan kepada awak media.

Di depan media, Presiden RI ke-6 itu meminta agar ujaran Prabowo tentang pilihan politik Ani untuk tidak disampaikan ke publik.

"Teman-teman ya itu statemen Pak Prabowo yang kaitannya dengan politik ya tentang Ibu Ani, please tidak disampaikan. Ini hari yang penuh (mengeluh nafas) ujian bagi saya, Ibu Ani jangan dikait-kaitkan dengan politik," kata SBY usai menerima Prabowo di kediamannya.

"Jadi please saya mohon statemen Pak Prabowo yang Ibu Ani milih apa, milih apa itu tentu tidak tepat, tidak elok untuk disampaikan. Saya mohon itu saja, tolong mengerti perasaan kami yang berduka, Ibu Ani yang baru saja berpulang jadi kami tidak ingin dikaitkan dengan politik apapun," lanjut SBY.

Dari ungkapan tersebut terlihat jelas bahwa SBY tidak suka dengan pernyataan politis Prabowo tersebut. Karena hal itu sungguh tidak etis dan tidak elok disampaikan dalam suasana duka. Diakui atau tidak, pernyataan Prabowo itu juga telah melukai hati SBY dan keluarganya.

Kejadian tersebut juga menunjukkan bahwa Prabowo itu merupakan sosok yang tidak berperikemanusiaan dan tak mampu meletakkan rasa empati dan kemanusiaan di atas kepentingan politiknya.

Betapa tidak, di tengah situasi duka seperti ini dia justru memanfaatkannya menjadi komoditas politik. Sebuah manuver politik yang "kasar" dan vulgar. Plus membuka kedoknya sendiri yang tak pernah tulus dan berlatar politis terhadap keluarga SBY.

Kita patut bersyukur, untung saja bukan dia yang terpilih pada Pilpres lalu. Karena untuk urusan elementer seperti itu saja dia gagal, bagaimana mampu mengelola negara yang kompleks.

Momen Lebaran, Presiden Jokowi Ajak Seluruh Masyarakat untuk Mempererat Persatuan dan Persaudaraan Bangsa

Momen Lebaran, Presiden Jokowi Ajak Seluruh Masyarakat untuk Mempererat Persatuan dan Persaudaraan Bangsa


Tak terasa, Bulan Ramadhan tahun ini akan segera berlalu. Hari Raya Idul Fitri pun sudah di hadapan mata. Dan, semua makhluk berbahagia dengan rahmat dari Tuhan-Nya.

Dalam momen yang berbahagia ini, Presiden Joko Widodo turut menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri bagi seluruh rakyat Indonesia yang merayakan. 

Dengan berlatar suasana mudik menjelang hari raya, Presiden juga menyampaikan harapannya agar Idul Fitri 1440 H dapat menjadi ajang untuk mempererat kembali semangat persatuan dan persaudaraan bangsa, baik di dalam keluarga maupun antar masyarakat.

"Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 H, mohon maaf lahir dan batin. Mari kita jadikan Idul Fitri ini sebagai ajang untuk mempererat kembali persatuan dan persaudaraan kita sebagai sebuah bangsa," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (3/6).

Presiden Jokowi menyebutkan, momentum perayaan Idul Fitri kali ini juga diharapkan menjadi sebuah awal untuk berdiri bersama sebagai sebuah bangsa dan membangun bangsa ini ke depannya agar menjadi lebih baik. 

Selain itu, mantan Walikota Solo ini juga menyampaikan pesan bagi para pemudik yang hendak merayakan Idul Fitri di kampung halaman masing-masing. Dalam pesannya, Jokowi mendoakan keselamatan dan kenyamanan bagi para pemudik selama di perjalanan.

Kita, tentu saja, seiya sekata dengan doa dan harapan Presiden Jokowi tersebut. Kita juga berharap momen lebaran tahun ini bisa menjadi ajang untuk merekatkan kembali persatuan dan persaudaraan bangsa setelah momen Pemilu beberapa waktu lalu. 

Dengan saling memaafkan, kita lupakan perbedaan dan perpecahan menuju cita-cita persatuan. Meski berbhineka, tetapi kita bersatu sebagai bangsa dan kemanusiaan. 

Thursday, 30 May 2019

Penyebar Fitnah dan Hoax Pantas Dihukum, Bukan Malah Dibela

Penyebar Fitnah dan Hoax Pantas Dihukum, Bukan Malah Dibela


Selama ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo dikabarkan tidak demokratis. Indikatornya karena banyak orang ditangkap polisi saat menyampaikan pendapat.

Tudingan itu banyak disematkan oleh para pendukung Prabowo-Sandi. Tapi benarkah demikian?

Tentu saja, jawabannya tidak. Pasalnya, penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap sejumlah pihak belakangan ini adalah semata-mata demi menjalankan perintah undang-undang.

Siapapun yang melakukan fitnah, menyebar hoaks, menghasut dan berujar kebencian, akan ditindak oleh polisi. Dan, itu bukanlah bentuk dari kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Oleh karenanya, proses hukum oleh kepolisian hendaknya tidak dipolitisir sedemikian rupa, sehingga menimbulkan persepsi seolah-olah pemerintah atau Presiden Jokowi antikritik.

Masalahnya, politisasi yang dilakukan Gerindra dan kubu 02 itu jelas-jelas berniat mengaburkan pandangan masyarakat terhadap apa yang melanggar hukum dan tidak.

Seolah-olah hoaks, fitnah dan penghasutan yang dilakukan pihaknya hanyalah sebatas kritik. Padahal yang sebenarnya mereka lakukan diduga kuat melanggar hukum, sehingga polisi menindaknya.

Untuk itu, kita seharusnya memang bisa membedakan antara mengkritik, memfitnah, menyebar hoaks kebohongan, menghasut dan mengujarkan kebencian.

Mengkritik jelas tidak melanggar hukum, sementara memfitnah, menyebar hoaks, menghasut dan mengujarkan kebencian adalah pelanggaran hukum. Hal itu sudah diatur dalam KUHP, UU ITE, serta UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Perlu diketahui, dua UU terakhir juga disetujui oleh Fraksi Gerindra yang belakangan kerap memprotes penegakan hukum atas UU tersebut. Sekarang Gerindra punya kader-kader di DPR, jadi kalau partai besutan Prabowo itu ingin masyarakat bebas memfitnah, menyebar hoaks dan menghasut, silakan ubah UU-nya dulu.


Misalnya saja Eggi Sudjana yang kedapatan menghasut para pendukung 02 untuk melakukan keonaran dan menabrak ketentuan-ketentuan hukum.

Kemudian Mustofa Nahrawardaya yang ditangkap setelah sekian banyak menyebar hoaks yang memicu keonaran masyarakat.

Mereka itu jelas telah melanggar hukum. Karenanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang telah diterangkan di atas. Jangan justru dibela karena dianggap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ingat, kebebasan itu pun ada batasnya.

Kita sebaiknya bisa cerdas menilai informasi yang beredar belakangan ini. Jangan termakan wacana seolah pemerintah otoriter karena menangkap para penyebar fitnah dan hoaks.

Bohong Besar, Isu Mobilisasi ASN dan Pegawai BUMN Menangkan Jokowi Tak Terbukti

Bohong Besar, Isu Mobilisasi ASN dan Pegawai BUMN Menangkan Jokowi Tak Terbukti


Kubu Prabowo-Sandi terus menerus memfitnah dan menyebarkan kabar bohong (hoax) bahwa Jokowi memobilisasi aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai BUMN untuk memenangkan dirinya. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Menurut survei internal TKN Jokowi-Maruf Amin, sebagian besar ASN justru menjadi pemilih Prabowo-Sandi. Menurut survei itu, setidaknya terdapat 72 persen ASN yang justru memilih pasangan 02.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Kampanye TKN, Benny Rhamdani, Rabu (29/5/2019).

Dengan kenyataan seperti itu, maka isu Jokowi memobilisasi ASN merupakan kebohongan besar yang sengaja diciptakan kubu lawan.

Logikanya, bila Jokowi memobilisasi ASN, maka Paslon 01 akan meraup banyak suara dari para abdi negara, tetapi faktanya tidak. Dengan demikian, sebenarnya Jokowi tidak menjadikan ASN sebagai mesin politik seperti zaman Orba.

Temuan senada juga berlaku untuk pegawai BUMN. Menurut survei internal TKN, sekitar 78 persen pegawai BUMN justru memilih pasangan calon 02 Prabowo-Sandi.

Hal ini semakin menegaskan bahwa Jokowi tidak memobilisasi pegawai BUMN sebagaimana yang dituduhkan oleh kubu Prabowo-Sandi.

Kubu Prabowo-Sandi memang sejak awal sengaja menciptakan framing bahwa pemilu berjalan dengan curang. Hal itu sengaja dipakai sebagai "kata sakti" karena mereka sulit mengalahkan Jokowi.

Oleh karena itu, kita sebaiknya tak perlu percaya dengan segala informasi bahwa Jokowi melakukan kecurangan atau mengerahkan ASN dan pegawai BUMN untuk memenangkan dirinya. Berdasarkan kenyataan, hal itu tidak benar dan hanya isu yang dibuat oleh kubu Prabowo-Sandi.

Kerja Keras Polisi Berhasil, 6 Tersangka Perencana Pembunuhan Jenderal Diamankan

Kerja Keras Polisi Berhasil, 6 Tersangka Perencana Pembunuhan Jenderal Diamankan


Kerja keras pihak kepolisian membongkar dalang-dalang kerusuhan 22 Mei sedikit demi sedikit telah membuahkan hasil. Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka jual beli senjata api (senpi) ilegal.

Keenam pelaku, yakni, HK, AZ, IR, TJ, AD, semuanya laki-laki dan terakhir AF seorang perempuan.

Hasil penyidikan, mereka berniat membunuh tokoh nasional dan pimpinan lembaga survei. Mereka berbeda dengan kelompok penyusup lainnya.

Dari penelusuran pihak Kepolisian, untuk membeli senpi ilegal para tersangka menghabiskan dana Rp 150 juta. Ternyata ini dikonversikan dari dolar Singapura.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Karopenmas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan, enam tersangka ada aktor intelektualnya yang mendesain. Kemudian ada pendananya juga yang memberikan dana dalam bentuk dolar Singapura.

Dari keenam tersangka itu ada aktor intelektualnya yang mendesain semua itu. Orang itulah yang mendanai rencana penembakan. Semua dana dalam bentuk cash dollar Singapura.

Untuk jatah pimpinan kerusuhan 22 Mei mendapat uang sebesar Rp 150 juta, pembunuh bayaran atau eksekutor Rp 55 juta, dan pemasok senjata api (senpi) Rp 50 juta.

Adapun senpi yang beredar di tengah kerusuhan 22 Mei sengaja digunakan untuk membuat kekaucauan dan mencari martir agar ketika jatuh korban, aparat kepolisian yang disalahkan.

Polisi menegaskan dana tersebut bukanlah honor mereka. Setelah melakukan eksekusi pembunuhan baru akan diberikan honornya, yang kini masih didalami berapa nilai upahnya jika berhasil mengesekusi.

Dengan demikian, mereka direkrut untuk tujuan pembunuhan sejumlah jenderal dan pemimpin lembaga survei.

Polisi mengakui bahwa pemberi dana ini adalah papan atas, lantaran bisa memberikan dana dalam bentuk dolar Singapura. Di bawah pemberi dana ada otak intelektualnya, dan koordinator lapangan. Koordinator lapangan dia mencari senjata, mencari eksekutor, dia memetakan dimana tempat eksekusinya.

Kita bersykur pihak kepolisian segera bertindak cepat sehingga menangkap para pelaku. Seandainya itu terlambat, entah akan seperti apa negeri kita ini. Terus dukung kepolisian untuk menguak kasus ini, hingga bisa menangkap otak intelektual dan para pendananya.

Menguak Siapa Sosok AF, Salah Satu Tersangka Kerusuhan 22 Mei

Menguak Siapa Sosok AF, Salah Satu Tersangka Kerusuhan 22 Mei


Polisi sudah menetapkan 6 tersangka kasus senjata api ilegal untuk yang diduga selaku pembunuh bayaran kerusuhan aksi 22 Mei 2019. Salah satunya seorang perempuan berinisial AF, istri purnawirawan dan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Lantas siapa, AF itu?

AF punya nama lengkap Asmaizulfi, atau dipanggil Fifi. Ia adalah istri dari Mayjen (Purn.) Moerwanto Soeprapto yang pernah menjadi ketua Yayasan Citra Handadari Utama.

Sementara itu, Fifi merupakan Ketua Umum Gerakan Emak-Emak Peduli Rakyat (Gempur) yang aktif berdemonstrasi mengkritik pemerintahan Jokowi.

Fifi diciduk polisi lantaran menjual senjata api untuk komplotan yang berniat membunuh sejumlah tokoh dan memicu aksi 22 Mei. Fifi ini merupakan satu-satunya emak-emak yang diciduk kepolisian.

Gempur ini resmi berdiri pada 16 November 2018 dan Jalan Rawa Badak Barat No. 2 Koja, Jakarta Utara. Beberapa sosok pengawas dari organisasi tersebut adalah mantan ketua umum Front Pembela Islam, Habib Muchsin Alattas dan Japto Soejarsoemarno, tokoh Pemuda Pancasila.

Belakangan, Gempur menjadi organ politis yang bertujuan untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tugasnya, untuk mengampanyekan paslon 02 dari pintu ke pintu, khusus wilayah Jakarta.

Sedangkan, suaminya adalah Mayor Jenderal (Purn) Moerwanto Soeprapto. Ia menjadi Ketua Yayasan Citra Handadari Utama, yang pernah menjabat Sekjen Departemen Sosial masa Orde Baru.

Yayasan ini pernah bersengketa dengan Kementerian Sosial atas kepemilikan lahan seluas 0,8 hektare dan pengelolaan Gedung Cawang Kencana di Jakarta Timur.

Fakta ini menjadi bukti bahwa pendukung Prabowo-Sandi berada di balik kerusuhan 22 Mei kemarin. Mereka itulah yang menggalang massa, menciptakan kerusuhan dan berencana membunuh para jenderal.

Gerombolan 02 itu berusaha mengacaukan situasi negara hanya demi kekuasaan dengan cara apapun dan mengorbankan rakyat sebagai tumbal politik. Tindakannya jelas tak bisa dibenarkan dan harus segera diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Untung saja, aparat keamanan segera bergerak cepat, sehingga potensi bahaya dapat diminimalisasi. Selain itu, para pelakunya juga bisa ditangkap.

Kita berharap para pelaku di atas bisa ditindak dengan adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Bagi pihak keamanan, jangan pernah takut, karena rakyat tetap berdiri di belakang untuk mendukungmu.

Mempertayakan Cuti Bambang Widjojanto dari TGUPP DKI Jakarta, Masih Makan Gaji Buta?

Mempertayakan Cuti Bambang Widjojanto dari TGUPP DKI Jakarta, Masih Makan Gaji Buta?


Anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Bambang Widjojanto didapuk menjadi Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi dalam menggugat hasil Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ditunjuknya BW tersebut, tentu saja, menjadi polemik publik. Pasalnya, mantan komisioner KPK itu sekarang 'double' jabatan. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan bias kepentingan.

BW yang juga mendapat gaji dari APBD DKI dikhawatirkan mempengaruhi kinerja karena tumpang tindih dengan pekerjaannya sebagai tim hukum BPN.

Meski telah mengajukan cuti dari TGUPP DKI, tetapi kasus itu masih menjadi sorotan. Salah satunya dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Salah satu yang disoroti mengenai status cuti BW. Kalau BW mengambil cuti di luar tanggungan, maka itu sah-sah saja dilakukan. Tapi bila hanya cuti, maka BW tetap mendapat upah sebagai anggota TGUPP yang berasal dari APBD. Bila itu terjadi, dimana etika BW sebagai pejabat publik?

Ketika BW telah menjadi anggota TGUPP berdasarkan surat keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta, dan berkomitmen kerja penuh di sana, maka BW seharusnya tidak bisa menjadi kuasa hukum pasangan calon nomor urut 02 tersebut.

Mengingat, hal itu berkaitan dengan etika pejabat publik. Harusnya mantan aktivis yang sudah kawakan seperti BW ini paham mengenai masalah ini.

Mungkin karena dia lagu butuh "modal" banyak, sehingga harus double jobs. Tentu saja, agar dapurnya tetap ngebul, apapun ditabrak meski tidak sesuai dengan etika publik.

Wednesday, 29 May 2019

Pemilu Lebih Transparan, Bawaslu Bantah Pernyataan Bambang Wijdojanto

Pemilu Lebih Transparan, Bawaslu Bantah Pernyataan Bambang Wijdojanto


Beberapa waktu lalu, Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto menyebut bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini tentu saja tidak benar karena apa yang dinyatakan BW itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Bantahan itu datang dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Bawaslu, Pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling transparan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua Bawaslu Abhan di Jakarta, Rabu (29/5/2019).

Menurut Abhan, semua proses dan tahapan pemilu serentak 2019 dilakukan secara terbuka dan transparan. Publik dan juga peserta pemilu bisa melihat, mengamati dan mengontrol semua tahapan pemilu.

Hal ini berbeda dengan Pemilu di era Orde Baru. Bila dikatakan Pemilu kali ini yang terburuk, maka Bambang tentu saja telah mengabaikan fakta Pemilu yang manipulatif di era Orde Baru.

Padahal kita tahu, Pemilu di era Orde Baru hanyalah topeng dari rezim otoriter. Pemilu direkayasa sedemikian rupa sehingga menguntungkan Golkar dan Soeharto.

Pelaksaaan Pemilu pada 2019 ini sangat jauh dibandingkan era Orba. Pengawasan tak hanya dilakukan oleh Bawaslu saja, tetapi oleh puluhan lembaga independen dalam dan luar negeri.

Singkat kata, pernyataan BW yang menyatakan bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia merupakan pernyataan yang ahistoris, serta tidak didasarkan pada data dan argumen yang jelas.

Hal itu diucapkannya hanya karena dirinya menjadi pengacara pihak yang kalah saja, sehingga menuding Pemilu 2019 merupakan yang terburuk. Tetapi ungkapan itu jelas tak berdasarkan kenyataan.

Meski demikian, kita harus akui memang masih ada kekurangan dan kesalahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Namun dengan berbagai mekanisme yang ada, kesalahan dan kekurangan tersebut bisa dikoreksi. Inilah yang berbeda dibandingkan dengan era Soeharto dulu.

Mari kita berpikir adil dalam menilai sesuatu. Jangan karena keberpihakkan kita saat ini kita mengorbankan nalar dan pengetahuan, hanya demi ambisi politik.

Pesan ini paling pas ditujukan ke BW dan para elit 02 yang tak mau dan mampu berpikir dengan adil.

Saturday, 25 May 2019

Aksi Rusuh 22 Mei Bukan Demokrasi, Itu adalah Pembajakan Demokrasi!

Aksi Rusuh 22 Mei Bukan Demokrasi, Itu adalah Pembajakan Demokrasi!


Kerusuhan 22 Mei bukanlah aksi demonstrasi dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sebaliknya, hal itu merupakan aksi kekerasan dan premanisme yang dibungkus atas nama demokrasi.

Kerusuhan tersebut layak disebut sebagai pembajakan terhadap demokrasi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.

Disebut pembajakan demokrasi karena tidak melalui prosedur dan mekanisme dalam negara demokrasi. Seharusnya apabila ada keberatan terkait pilpres, peserta aksi tempuh jalur hukum.

Massa perusuh itu sama sekali tidak ingin menyampaikan aspirasi, melainkan hanya ingin berbuat kerusuhan dan mengacaukan keadaan.

Diduga kuat aksi kerusuhan itu memang sengaja dilakukan untuk menimbulkan korban jiwa yang dijadikan martir. Dengan jatuhnya korban jiwa maka akan memicu kemarahan publik yang lebih luas. Inilah tujuannya.

Aksi kerusuhan itu sendiri tak bisa dilepaskan dari konteks tidak terimanya kubu Prabowo-Sandi atas kekalahannya di Pemilu 2019. Karena kalah, mereka membangun narasi curang.

Tak hanya itu, kubu 02 juga kerap berkoar-koar untuk mengajak rakyat menggelar people power. Hasilnya, para pendukungnya pun semakin terdorong untuk berbuat nekat.

Oleh karena itu, kita patut berharap agar aparat kepolisian dapat menindak tegas pelaku kerusuhan tersebut. Ini demi terciptanya ketertiban umum di masyarakat.

Kita berharap para elit politik di barisan Prabowo-Sandi dapat bersikap dewasa dan mau menerima kekalahan dengan legowo. Kalaupun tidak puas, seharusnya mereka menggugat ke MK. Bukan mengerahkan massa untuk membuat ricuh di negeri sendiri.

Semoga Indonesia baik-baik saja.

Ingin Bersihkan Benalu Demokrasi, Petisi Tangkap Prabowo dan Amien Rais Bergaung di Media Sosial

Ingin Bersihkan Benalu Demokrasi, Petisi Tangkap Prabowo dan Amien Rais Bergaung di Media Sosial


Pasca kerusuhan 22 Mei, petisi tangkap Amien Rais dan Prabowo bergema di media sosial. Keduanya disebut sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi.

Petisi di situs change.org itu dibuat oleh masyarakat karena mereka sudah geram dengan tingkah keduanya yang semakin memanaskan suasana dan memprovokasi.

Masyarakat menilai Prabowo dan Amien Rais sebagai dalang dan provokator yang menyebabkan kerusuhan 21 dan 22 Mei yang terjadi di Bawaslu, Tanah Abang, hingga Petamburan, Jakarta.

Sebagaimana diketahui, Prabowo dan Amien Rais memang selalu memprovokasi para pendukung 02 untuk tidak menerima hasil Pilpres dengan tuduhan kecurangan tanpa bukti.

Bahkan, Amien Rais juga turut mengobarkan seruan people power untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Tingkah laku mereka sudah membuat rakyat marah dan ingin mereka diciduk serta mempertanggungjawabkan perbuatannya demi kedamaian Indonesia.

Adanya petisi di atas merupakan wujud partisipasi masyarakat Indonesia untuk membersihkan negeri ini dari para benalu demokrasi. Juga wujud kepedulian masyarakat agar kehidupan politik semakin sehat.

Kita berharap para dalang kerusuhan 22 Mei ini segera ditangkap dan diproses hukum. Karena akibat provokasi mereka, ada nyawa yang harus melayang.

Mereka itu adalah elit politik yang haus kekuasaan, sehingga berani mengorbankan rakyat kecil. Jangan beri panggung lagi kepada mereka.

Tuding Cendana sebagai Dalang, Mahasiswa se-Indonesia Kutuk Aksi Kerusuhan 22 Mei

Tuding Cendana sebagai Dalang, Mahasiswa se-Indonesia Kutuk Aksi Kerusuhan 22 Mei


Sejumlah elemen masyarakat mengutuk keras aksi kekerasan dan kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Salah satunya datang dari kelompok mahasiswa.

Baru-baru ini, sejumlah mahasiswa yang berasal dari sembilan kampus di wilayah DKI Jakarta dan kampus di 25 kota lain di Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi unjuk rasa yang berujung kerusuhan 21-22 Mei lalu.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Juru Bicara Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus se-Indonesia, Jeprie Nadapdap di Jakarta, pada Kamis (23/5/2019).

Selain mengutuk aksi kerusuhan tersebut, mereka juga menilai bahwa kerusuhan tersebut didalangi oleh keluarga Cendana. Sebab, pernyataan Titiek Soeharto sebagaimana disampaikan di dalam video yang viral di media sosial, bahwa aksi akan berlangsung damai ternyata tidak terbukti.

Hal ini menguatkan dugaan, bahwa aksi damai yang diserukan politisi Cendana itu hanya kamuflase belaka

Namun yang lebih miris adalah bahwa kejadian kerusuhan itu telah menghapus citra masyarakat Indonesia  yang dikenal ramah dan santun oleh masyarakat dunia.

Kita tentu saja sependapat dengan pandangan para mahasiswa di atas. Aksi kerusuhan karena kekalahan dalam Pemilu merupakan perbuatan yang tak dibenarkan, baik dari agama, hukum dan etika.

Hal itu hanya menunjukan sikap tidak dewasa dari kubu Prabowo-Sandi. Mereka hanya mau menang saja, tetapi tak siap untuk kalah. Ini bukanlah sikap seorang ksatria dan demokrat sejati.

Mari kita akhiri ketegangan pasca Pemilu ini. Terlepas siapapun yang menang, mari tanggalkan dukungan kepada para capres masing-masing dan mulai bergerak ke tengah meneguhkan persatuan Indonesia.

Mari kita galang kembali kerukunan, persatuan dan kesatuan. Keutuhan NKRI jauh lebih penting dibandingkan segenggam kekuasaan.

Tak perlu lagi kita jadikan kekerasan dan kerusuhan sebagai jalan keluar dari polemik politik. Stop! Para elit, ayo berdewasalah!

Ada Handy Talky PKS dalam Kerusuhan 22 Mei, Mereka Terlibat dalam Kerusuhan?

Ada Handy Talky PKS dalam Kerusuhan 22 Mei, Mereka Terlibat dalam Kerusuhan?


Sedikit demi sedikit fakta di balik kerusuhan 22 Mei di Jakarta mulai terbongkar. Hal ini setelah polisi mulai mendalami kasus kerusuhan yang terkait dengan hasil Pemilu 2019 tersebut.

Dari penyelidikan itu dugaan keterlibatan kubu Prabowo-Sandi dan koalisinya sebagai dalang kerusuhan semakin kuat. Hal ini setelah polisi menemukan sejumlah bukti yang mengarah sana.

Misalnya, Handy Talky (HT) berstiker Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ikut diamakan Polres Metro Jakarta Barat. Stiker logo itu memuat angka 8 yang menjadi nomor urut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Pemilu 2019, serta slogan bertuliskan "Ayo Lebih Baik".

Alat komunikasi itu disita sebagai barang bukti dari pelaku kericuhan, diantaranya, 90 ponsel, satu sarung, satu peer besi, 19 amplop yang berisi uang tunai, tujuh bongkahan batu, satu petasan, satu bambu runcing, satu golok, dua bom molotov, 12 anak panah dan satu gunting rumput.

Barang-barang tersebut diduga kuat digunakan oleh para perusuh untuk menyerang Asrama Polri Petamburan, Jakarta Barat. Selain itu, polisi juga berhasil mengkap 183 pelaku kericuhan.

Para pelaku dikenakan pasal 212 dan atau asal 214 KUHP tentang perlawanan terhadap petugas, pasal 170 KUHP tentang melakukan pengrusakan yang dilakukan selama bersama-sama, dan pasal 187 KUHP tentang pembakaran dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.

Dengan ditemukan barang-barang di atas, PKS terindikasi kuat "ikut bermain" dalam kerusuhan yang sebelumnya diklaim aksi damai tersebut. Mereka menjadi pihak yang berdiri di belakang aksi kerusuhan itu.

Kemungkinan lainnya, PKS juga turut menjadi penumpang gelap dengan membonceng setiap gerakan yang anti pemerintah. Temuan HT tersebut menjadi jalan pembuka pihak kepolisian untuk mendalami dan memastikan kasus ini lebih lanjut.

Kita berharap polisi dapat segera membongkar dalang dan pendana aksi kerusuhan 22 Mei tersebut. Semoga para provokatornya segera tertangkap agar Indonesia bisa kembali aman dan damai.

Prabowo Subianto, Sosok Paling Bertanggung Jawab bila Ada Kerusuhan Lagi

Prabowo Subianto, Sosok Paling Bertanggung Jawab bila Ada Kerusuhan Lagi


Terjadinya kerusuhan dalam Aksi 22 Mei di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat disayangkan oleh berbagai pihak.

Masyarakat pun percaya bahwa kerusuhan itu bukan terjadi secara spontan, melainkan telah dipersiapkan dengan matang dan ada dalangnya.

Adalah, Capres Prabowo Subianto orang yang paling bertanggung jawab menurut publik. Pasalnya, aksi demonstrasi itu terkait dengan sikapnya yang tak mau menerima kekalahan Pemilu 2019.

Prabowo juga menjadi orang paling bertanggung jawab apabila para pendukungnya kembali menggelar aksi hingga berujung kerusuhan seperti pada 22 Mei lalu.

Perlu diketahui, aksi kerusuhan itu tak terlepas dari tuntutan Prabowo-Sandi untuk menganulir hasil Pemilu 2019. Sebab mereka merasa Pemilu 2019 ini penuh kecurangan.

Di samping itu, kubu Prabowo-Sandi juga kerap menyebarkan provokasi untuk people power dan menolak gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Berbagai provokasi itu akhirnya membuat adanya kristalisasi diantara pendukungnya, sehingga mereka semakin militan dan berani melawan pemerintah.

Singkat kata, tak ada yang pantas disebut orang yang paling bertanggung jawab dalam kerusuhan 22 Mei lalu, kecuali Prabowo dan elit-elit politik di sekitarnya. Mereka lah yang menciptakan prakondisi sebelum kerusuhan meletus.

Meski demikian, kita sekarang patut mengapresiasi Capres nomor urut 02 tersebut karena telah meminta para pendukungnya untuk menghindari segala kekerasan, taat hukum, dan menghentikan aksi damai untuk sementara waktu.

Selain itu, Prabowo juga meminta aparat keamanan untuk bertindak arif. Ajakan Prabowo itu seiring dengan anjuran Presiden Joko Widodo yang ingin membangun kerukunan, kebersamaan dan kehidupan bangsa Indonesia.

Yang paling penting, kita berharap agar pernyataan Prabowo tersebut dapat diikuti oleh para pendukungnya dengan baik. Mari kita hentikan pertikaian karena kepentingan politik para elit.

Friday, 24 May 2019

Terbongkar, Ambulans Pengangkut Batu Hadir ke Jakarta Karena Instruksi DPP Partai Gerindra

Terbongkar, Ambulans Pengangkut Batu Hadir ke Jakarta Karena Instruksi DPP Partai Gerindra


Pada aksi kerusuhan 22 Mei lalu, Polisi melakukan pengamanan terhadap mobil ambulans berlogo Partai Gerindra. Kendaraan tersebut diamankan karena kedapatan membawa batu, alat-alat tawuran, dan sejumlah uang. 

Benda-benda itu yang rencananya akan diberikan pada massa perusuh di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI di Jalan MH Thamrin, Rabu (22/5).

Dalam pemeriksaan sementara, mobil ambulans yang berisi batu tersebut merupakan instruksi dari Gerindra Jabar. Instruksi secara tertulis tersebut ditujukan kepada seluruh DPC Gerindra se-Jawa Barat.

Isi surat itu disebutkan pengiriman ambulans tersebut untuk membantu kelancaran aksi dengan dasar “Perintah Lisan” DPP Partai Gerindra.

Bila benar begitu, artinya mereka memang sudah merencanakan segala sesuatu dengan matang dan bersiap untuk melancarkan aksi brutalnya dengan mengirimkan ambulans sebagai kamuflase untuk menyelundupkan batu ke wilayah aksi dan membuat kerusuhan.

Kasus mobil ambulans ini bisa membuka kotak pandora mengenai siapa dalang dari aksi kerusuhan 22 Mei lalu. Adanya pengiriman ambulans atas instruksi Gerindra Jabar tersebut adalah bukti bahwa kubu Prabowo-Sandi sebagai pihak yang menginisiasi dan menggalang demonstrasi tersebut. 

Kubu Prabowo memang telah merencanakan agenda kerusuhan dalam aksi 22 Mei secara matang. Salah satunya dengan mempersenjatai sejumlah massa bayaran dengan menggunakan batu. 

Lucunya, meski manuver Partai Gerindra telah terbaca melalui kasus ambulans tersebut, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon yang membantah jika ambulans itu milik Partai Gerindra. 

Padahal Ketua DPC Gerindra Kota Tasikmalaya, Nandang Suryana telah membenarkan ambulans tersebut milik DPC Gerindra Kota Tasikmalaya yang rencananya akan dibawa ke Seknas Prabowo-Sandi di Jakarta atas perintah DPD Gerindra Jawa Barat. 

Dengan adanya saling lempar pernyataan tersebut menunjukan adanya kurang koordinasi antara DPP, DPD dan DPC Partai Gerindra. Karena itulah rencana jahat kubu Prabowo mudah sekali terbongkar.

Dengan melihat kasus ambulans di atas, sudah jelas kan siapa dalang kerusuhan 22 Mei kemarin? Ya, orang-orang itu lagi.