Friday, 14 June 2019

Konyol, Poin Gugatan Prabowo-Sandi untuk Mengganti Komisioner KPU Ternyata Salah Alamat

Konyol, Poin Gugatan Prabowo-Sandi untuk Mengganti Komisioner KPU Ternyata Salah Alamat


Pasangan capres dan cawapres Prabowo-Sandi akhirnya melayangkan dokumen perbaikan gugatan PHPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam dokumen tersebut tercantum 15 petitum dari sebelumnya hanya tujuh petitum.

Salah satu poin dalam petitum adalah Prabowo-Sandi meminta lembaga berwenang untuk mencopot seluruh komisioner KPU.

Poin gugatan Prabowo itu sepertinya salah alamat. Pasanya, persoalan etik penyelenggara pemilu menjadi wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Masalah itu bukanlah menjadi 'domain' dari MK. Lembaga peradilan itu hanya berwenang untuk menangani sengketa hasil pemilu.

Hal ini juga menjadi pandangan dari Ketua KPU Arief Budiman. Ia mengingatkan juga bahwa petitum yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu itu ranah DKPP.

Dengan begitu, sebenarnya memperlihatkan bahwa kubu Prabowo-Sandi tidak paham dengan gugatannya sendiri. Mereka juga terlihat tidak tahu mekanisme ketatanegaraan yang benar.

Tidak heran jika mereka menggunakan gaya jalanan untuk memprotes sesuatu yang tidak menguntungkan bagi pihaknya.

Kita sebagai publik yang waras harus terus mengkritisi penyesatan narasi seperti yang dilakukan oleh Prabowo-Sandi di atas. Setiap wacana yang diungkapkan ke publik harus dilihat dan ditimbang dengan matang.

Hal ini merupakan bagian dari mendorong wacana yang sehat di masyarakat. Juga agar tidak terjadi putusan yang salah di MK.

Benarkah Kiai Maruf Melanggar Aturan dalam Pencalonan Cawapres? Simak Penjelasan Ini

Benarkah Kiai Maruf Melanggar Aturan dalam Pencalonan Cawapres? Simak Penjelasan Ini


Ada yang aneh dengan perbaikan permohonan Prabowo-Sandi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, mereka kini mempermasalahkan pencalonan cawapres KH. Maruf Amin.

Salah satu poin perbaikan yang diajukan oleh koalisi 02 tersebut, yakni mengenai jabatan KH Ma'ruf Amin di dua BUMN. Dalam jabatannya tersebut, Kiai Maruf memang masih tercatat sebagai Dewan Pengawas Syariah di BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah.

Menurut mereka, kenyataan tersebut melanggar pasal 227 huruf (P) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Sebelum menanggapi itu, kita sebaiknya membaca terlebih dahulu UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, serta dikaitkan pasal 227 huruf P UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tanpa kita kaji dengan mendalam, kita akan mudah digiring dalam narasi sesat.

Berdasarkan UU BUMN, perusahaan disebut plat merah apabila ada penyertaan modal dari negara secara langsung dan dipisahkan kekayaannya. Hal ini tercantum dalam pasal 1 UU BUMN.

Sedangkan, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah itu modalnya tak dimiliki oleh negara. Melainkan dimiliki oleh perusahaan BUMN.

Perlu diketahui, pemegang saham BSM adalah PT. Bank Mandiri dan PT. Mandiri Sekuritas. Sedangkan BNI Syariah yang menjadi pemegang sahamnya adalah PT. Bank BNI dan PT. BNI Life Insurance

Dengan demikian, kedua perusahaan tersebutl bukanlah BUMN, sebagaimana yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN.

Sedangkan dalam pasal 227 huruf P UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengharuskan seorang calon presiden atau wakil presiden membuat surat pernyataan pengunduran diri jika dirinya adalah karyawan atau pejabat dari badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD).

Dari membandingkan dua pasal itu saja, kita harusnya bisa paham bahwa Kiai Maruf Amin tidak sedang menjabat di perusahaan BUMN. Melainkan menjadi Dewan Pengawas Syariah di anak perusahaan BUMN. Kedua hal ini tidak sama.

Ini berbeda kalau Kiai Maruf Amin menjadi Direksi, Komisaris atau karyawan Bank Mandiri atau Bank BNI, dimana negara menjadi pemegang saham melalui penyertaan langsung dengan menempatkan modal disetor yang dipisahkan dari kekayaan negara. Maka di situ Ketua Umum MUI (non-aktif) itu bisa dikatakan melanggar hukum.

Apalagi, jabatan Dewan Pengawas Syariah pada bank Syariah itu bukan karyawan, atau direksi, juga komisaris yang merupakan pejabat badan usaha berbentuk perseroan terbatas. Ia adalah lembaga independen internal yang dibentuk untuk mengawasi jalannya perusahaan tersebut dari sisi aturan syariah.

Jadi apa yang didalilkan sebagai tambahan materi baru tentang Kiai Ma'ruf Amin oleh Tim Kuasa Hukum Paslon 02 itu adalah hal yang mengada-ada dan tidak didasarkan pada pemahaman yang benar atas isi aturan UU terkait.

Masyarakat sebaiknya perlu memahami ini agar tidak rancu dan salah persepsi mengenai dalil gugatan hukum Prabowo-Sandi tersebut.

Cara Cuci Tangan Prabowo dkk, Bilang Jangan ke MK tapi FPI Tetap Demo ke MK

Cara Cuci Tangan Prabowo dkk, Bilang Jangan ke MK tapi FPI Tetap Demo ke MK


Meski telah menyerukan kepada para pendukungnya untuk tidak datang ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukatinya Front Pembela Islam (FPI) tak mengindahkannya.

Pasalnya, FPI Kota Bandung tetap akan mengirimkan ratusan anggotanya ke Jakarta untuk mengawal proses sidang PHPU Pilpres 2019. Hal ini telah dibenarkan oleh Sekretaris FPI Kota Bandung Ahmad Kurniawan.

Ia mengatakan anggotanya yang dikirim ke MK untuk mengawal sidang PHPU Pilpres 2019 ini mencapai 500 orang.

Hal ini tentu mengundang pertanyaan besar. Mengapa FPI tetap mengirimkan pasukannya ke Jakarta, sedangkan Prabowo sudah mengingatkan pendukungnya agar tidak datang ke MK? Apakah sudah pecah kongsi diantara mereka? Atau ini hanya taktik belaka?

Bila dilihat dari rekam jejaknya selama ini, kemungkinan besar apa yang diungkapkan oleh Prabowo soal larangan pendukungnya agar tidak datang ke MK itu hanyalah lip service saja. Itu hanya manis di mulut, tetapi tidak dijalankan dengan serius.

Justru itu adalah taktik agar dirinya seolah-olah tetap bersih, tetapi operasi untuk membuat kericuhan tetap dilakukan. Di balik larangannya tersebut, ada kemungkinan Prabowo justru menggerakan massa FPI tersebut.

Dengan cara seperti ini, Prabowo-Sandi dan BPN-nya akan dengan mudah cuci tangan atas apa yang akan terjadi ketika FPI ke MK. Terutama ketika terjadi kerusuhan atau kericuhan lain, nama mereka tetap aman.

Memang agak aneh kehadiran FPI dalam sidang di MK tersebut. Pasalnya, dalam sistem ketatanegaraan ini, FPI bukan siapa-siapa di negeri ini, hanya ormas saja, tidak kurang dan tidak lebih.

Mau berteriak sekeras-kerasnya tidak akan ada gunanya karena FPI tidak punya legal standing di sana. Lalu apa gunanya mereka ada di MK sementara Prabowo sendiri sudah menginstruksikan pendukungnya untuk datang ke MK? Ini membuktikan kemungkinan adanya agenda pribadi dan tersembunyi.

Jika memang Prabowo bukan sedang mau cuci tangan, maka perintahkan saja dengan keras kepada pendukungnya dari FPI untuk mundur. Atau, ancam saja ormas pimpinan Rizieq Shihab itu dengan dukungan kepada pemerintah agar tidak memberikan izin ormas kepada mereka.

Tapi, sayangnya itu tak mungkin dilakukan oleh Prabowo. Diam-diam dia memang menikmati keberadaan ormas yang suka melakukan kekerasan ini. Salah satunya sebagai martir kerusuhan, dan atau pasukan nasi bungkus untuk demontrasi demi kepentingannya.

Ada yang bisa membantahnya?

Tudingan Prabowo-Sandi soal Penggelembungan Suara hingga 22 Juta Sungguh Tak Masuk Akal

Tudingan Prabowo-Sandi soal Penggelembungan Suara hingga 22 Juta Sungguh Tak Masuk Akal


Tudingan kubu Prabowo-Sandi kepada lawannya sungguh tak berdasar. Pasalnya, mereka menyebut pasangan Jokowi-Maruf Amin itu telah menggelembungkan suara hingga 22 juta suara.

Entah dari mana datanya, namun tuduhan tersebut dimasukkan dalam gugatan Prabowo-Sandi dalam sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan dalih penggelembungan suara itulah Jokowi-Maruf Amin akhirnya bisa menang, dan Prabowo menganggap, bila tidak ada penggelembungan suara, dialah yang menang Pilpres 2019.

Prabowo-Sandiaga tidak membantah perolehan suara miliknya yang diumumkan KPU, yaitu 68.650.239 suara. Namun paslon nomor urut 02 itu keberatan atas keputusan KPU yang menyebut Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan 85.607.362 suara.

Versi Prabowo-Sandiaga, semestinya Jokowi-Ma'ruf hanya memperoleh 63.575.169 suara. Jadi KPU dinilai telah menggelembungkan suara Jokowi-Ma'ruf sebanyak 22.034.193 suara.

Terkait itu, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menyebut bahwa tuduhan penggelembungan suara sebanyak 22 juta itu sungguh tidak dapat diterima.

Menurutnya, tudingan itu sungguh tidak berdasar, sebab angka tersebut tidak diketahui darimana asalnya sementara selisih keduangan sebanyak 16 jutaan.

Secara normal, untuk membuktikan adanya indikasi kecurangan terhadap 16 jutaan suara tersebut tentu tidak mudah. Mereka harus mengumpulkan bukti dan saksi dari ribuan TPS yang jelas membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya tambahan.

Oleh karena itu, KPU dengan tegas telah menepis tuduhan tersebut dan memastikan telah menyelenggarakan Pemilu 2019 berpedoman pada prinsip transparansi, adil dan independen.

Bagi publik Indonesia sendiri, poin gugatan dari Prabowo-Sandi di atas juga tak masuk akal. Kita tak pernah tahu dari mana asal klaim penggelembungan suara tersebut.

Kita berharap para hakim MK dapat bekerja dengan teliti, adil dan transparan. Sehingga putusannya pun bisa mencerminkan kebenaran sejati sesuai hati nurani.

Ungkap Dalang Kerusuhan 21-22 Mei, KontraS Percaya Laporan Tempo Bisa Dipertanggungjawabkan

Ungkap Dalang Kerusuhan 21-22 Mei, KontraS Percaya Laporan Tempo Bisa Dipertanggungjawabkan


Baru-baru ini, publik Indonesia digegerkan dengan laporan investigasi Majalah Tempo yang membongkar seputar kerusuhan 21-22 Mei. Hal ini mendapatkan apresiasi dari banyak pihak, salah satunya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang HAM tersebut percaya bahwa liputan investigasi yang berjudul "Tim Mawar dan Rusuh Sarinah" itu dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk itu, KontraS meminta polisi segera menindaklanjuti temuan Tempo tersebut. Sehingga tidak mencoreng nama lain yang pernah menjadi anggota Tim Mawar Kopassus pada 1997.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Wakil Koordinator KontraS Bidang Strategi dan Mobilisasi, Ferry Kusuma, pada Rabu (12/6) lalu.

Sebagaimana diketahui, Fauka Noor Farid diduga sebagai salah satu dalang kerusuhan dalam unjuk rasa yang berakhir rusuh pada 21-22 Mei lalu. Ia adalah bekas anggota Tim Mawar (grup Kopassus yang terlibat penculikan aktivis pada 1997-1998 lalu).

Fauka Noor sendiri merupakan Ketua Bidang Pendayagunaan Aparatur Partai Gerindra. Namanya disebut-sebut dalam laporan Tempo di atas sebagai salah satu aktor yang menggerakan kerusuhan.

Meskipun, dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo, Fauka menampik kabar tersebut dan menyebut bahwa Tim Mawar selalu dikaitkan dengan kerusuhan.

Untuk membuktikan kebenarannya, kita berharap polisi segera menindak lanjuti laporan Tempo tersebut. Mari kita bongkar, apakah anggota Gerindra dan bekas Tim Mawar itu terlibat atau tidak.

Thursday, 13 June 2019

Tidak Konsisten, Angka Klaim Kemenangan Prabowo-Sandi Terus Berubah

Tidak Konsisten, Angka Klaim Kemenangan Prabowo-Sandi Terus Berubah


Meski mengaku menang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, banyak data yang tidak konsisten dari pasangan capres-cawapres, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Angka kemenangan yang diklaim mereka selalu berubah-ubah sejak 17 April lalu.

Awalnya, kubu Prabowo-Sandi itu mengklaim menang 62 persen, kemudian berubah menjadi 56 persen dan sekarang tinggal 52 persen. Ini menunjukan ketidakkonsistenan dari klaim kemenangan Prabowo-Sandi.

Angka yang berubah-ubah itu juga menunjukan bahwa tuntutan mereka jauh panggang dari api. Lakon mereka pun lebih mirip kisah dalam fiksi.

Klaim yang berubah-ubah itu tentu saja juga membuat kepercayaan publik semakin menipis kepada koalisi 02 tersebut.

Bagaimana publik akan percaya bila klaim kemenangan mereka selalu berubah seperti itu? Apakah mereka tak memiliki data yang valid? Inilah pertanyaan besar publik Indonesia.

Adapun angka kemenangan 52 persen itu dinyatakan oleh Prabowo-Sandi dalan berkas gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun angka itu pun juga tak wajar.

Mereka hanya mengajukan klaim, tanpa disertai bukti yang kuat. Alhasil data internal Prabowo-Sandi itu patut diragukan.

Pasalnya, selain tak pernah membuka tempat dan perhitungan internal mereka secara resmi, kubu Prabowo-Sandi juga mengajukan data yang tak sinkron. Itupun sudah sejak dari pernyataan internal mereka.

Dengan demikian, kita belum bisa menerima data yang valid dari Prabowo-Sandi. Mereka hanya menjual klaim kemenangan, tanpa data dan fakta.

Masih kah kita percaya dengan mereka?

Friday, 7 June 2019

Ke-Geer-an, Partai Gerindra Mengaku Ditawari Kursi Jokowi

Ke-Geer-an, Partai Gerindra Mengaku Ditawari Kursi Jokowi


Ada-ada saja kelakuan Partai Gerindra ini. Saat para elit politik sibuk rekonsiliasi dan silaturahim pasca Pilpres, mereka justru ke-geer-an dengan tawaran kursi menteri dari Presiden terpilih, Joko Widodo.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade. Ia menyebut bukan lagi rahasia soal tawaran kursi menteri dari Joko Widodo kepada Partai Gerindra.

Apalagi, Gerindra adalah salah satu partai yang perolehan suaranya cukup menjanjikan di parlemen jika dibandingkan dengan partai lain. Maka tak heran Jokowi berusaha mempererat hubungan dengan partai pimpinan Prabowo Subianto ini.

Lucunya, sikap terlalu percaya tinggi itu justru membuat kubu Jokowi-Maruf Amin terheran-heran. Pasalnya, mereka saja belum pernah bertemu dengan Gerindra, kok tiba-tiba mengaku mendapatkan tawaran kursi.

Bagi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Ace Hasan Sadzily, sikap Gerindra itu terlalu gede rasa (GR). Maklum mereka itu kelompok yang kalah, tetapi halusinasi sebagai pemenang.

Alih-alih mengklaim sudah ditawari jatah kursi menteri, Ace justru menasehati Gerindra agar sowan atau bersilaturahmi kepada Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai presiden.

Untuk Gerindra, lebih baik silaturahmi saja dulu seperti yang dilakukan AHY dan Zulkifli Hasan supaya suasana menjadi adem dan penuh dengan kesejukan di momen  lebaran ini.

Kita sendiri kadang kasihan dengan kelakuan elit partai Gerindra itu. Selain halusinasi, mereka kerap bertindak jauh dari nalar yang sehat.

Baiknya Partai Gerindra jangan terlalu percaya diri dengan mengklaim ditawari kursi menteri. Masih banyak orang-orang yang lebih pantas, berkompeten, dan lebih baik dari orang-orang di Partai Gerindra itu.

Lucu aja sih. Setelah kalah, sekarang mau enaknya aja. Jangan ngarep deh!